Menurut dia, penyelenggara negara harus memberi perlindungan dan penghormatan kepada keberagaman yang ada.
"Fakta objektif keberagamaan identitas warga negara, termasuk dari segi agama, seharusnya semakin mendorong perangkat penyelenggaraan negara pada cabang kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif untuk memberikan penghormatan," ujar Tigor dilansir siaran pers Setara Institute pada Kamis (20/7/2023).
"Perlindungan dan pemenuhan yang lebih baik bagi seluruh warga negara dengan identitas yang beragam tersebut," lanjut dia.
Tigor pun menilai SEMA tersebut merupakan kemunduran dan menutup ruang bagi progresivitas dunia peradilan dalam menjamin hak-hak warga negara dari latar belakang yang beraneka ragam.
Sebab, beberapa Pengadilan Negeri (PN) telah menunjukkan kemajuan dalam menjamin hak-hak warga negara dengan mengabulkan permohonan pencatatan perkawinan beda agama.
Seperti yang pernah dilakukan oleh PN Jakarta Selatan dan PN Yogyakarta.
Tigor juga menilai SEMA yang baru terbit itu menegaskan fakta memburuknya situasi demokrasi Indonesia, yang dalam lima tahun terakhir mengalami defisit.
"Defisit bukan hanya menimpa cabang kekuasaan eksekutif dan legislatif, tapi juga yudikatif. Apalagi pendorong keluarnya SEMA adalah tekanan dari politisi cum Wakil Ketua MPR RI, Yandri Susanto, yang mendatangi MA dan meminta pembatalan penetapan pernikahan beda agama di PN Jakarta Selatan," papar dia.
Lebih lanjut, Tigor menjelaskan SEMA Nomor 2 Tahun 2023 merupakan instrumen penyeragaman putusan pengadilan.
Padahal, menurutnya SEMA seharusnya hanya bersifat internal dan mengenai administrasi peradilan.
"SEMA bukanlah instrumen untuk mengekang kebebasan hakim dalam melakukan pembuktian, memberikan penafsiran, dan mengambil keputusan yang seadil-adilnya sesuai dengan bukti-bukti dalam due process of law yang digelar di persidangan pada masing-masing pengadilan," papar dia.
"Dalam pandangan Setara Institute, kewajiban negara dalam perkawinan antar warga negara bukanlah memberi pembatasan atau restriksi, akan tapi menghormati dan melindungi pilihan masing-masing warga negara," ungkap Tigor.
Sehingga, kewajiban negara hanyalah mencatat perkawinan warga negara tersebut dan memberikan keadilan dalam layanan administrasi terkait.
Setara Institute mendesak Ketua MA untuk berani mencabut SEMA tersebut.
"Sebab secara filosofis, sosiologis, dan yuridis SEMA tersebut tidak sesuai dengan kerohanian negara Pancasila dengan semboyan dasar Bhinneka Tunggal Ika dan SEMA dimaksud juga bertentangan dengan asas kebebasan hakim dalam proses peradilan," papar Tigor.
"Dalam konteks yang sama, Setara Institute mendorong DPR dan Pemerintah untuk melakukan revisi UU perkawinan tahun 1974. Perkawinan yang sah tidak hanya dilakukan berdasarkan agama, tetapi juga perkawinan sipil. Selain itu, pada pokoknya Negara mesti membangun hukum perkawinan yang sesuai dengan Pancasila dan kebinekaan Indonesia," tambah dia.
Dalam SEMA ini, Hakim dilarang untuk mengabulkan permohonan pencatatan pernikahan beda agama.
“Untuk memberikan kepastian dan kesatuan hukum dalam mengadili permohonan pencatatan perkawinan antarumat beragama yang berbeda agama dan kepercayaan, para hakim harus berpedoman pada ketentuan,” demikian bunyi SEMA ditandatangani oleh Ketua MA Muhammad Syarifuddin, Senin (17/7/2023).
Dalam SEMA ini disebutkan, perkawinan yang sah adalah yang dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan itu.
Hal ini sesuai Pasal 2 Ayat 1 dan Pasal 8 huruf f Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
“Pengadilan tidak mengabulkan permohonan pencatatan perkawinan antarumat beragama yang berbeda agama dan kepercayaan,” tulis poin dua SEMA tersebut.
https://nasional.kompas.com/read/2023/07/20/21061641/ma-larang-nikah-beda-agama-setara-institute-sema-kekang-hakim-dan-kebebasan