JAKARTA, KOMPAS.com - Polemik tentang uji materi sistem pemilihan umum (Pemilu) berakhir setelah Mahkamah Konstitusi (MK) menolak gugatan itu dalam sidang pembacaan putusan perkara nomor 114/PUU-XX/2022 pada Kamis (15/6/2023) kemarin.
Di dalam amar putusan itu, MK memaparkan sejumlah argumen yang menjelaskan mengapa mereka menolak uji materi tentang sistem Pemilu yang terdapat di dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Salah satu argumen dari para pemohon yang dibantah MK adalah tentang kaitan antara penerapan sistem pemilu proporsional daftar terbuka dengan kemunculan calon anggota legislatif (caleg) yang bersikap pragmatis.
Menurut Hakim Konstitusi Saldi Isra yang menguraikan pertimbangan hukum, dalam persoalan itu sebenarnya bertumpu kepada proses di internal partai politik.
Penyebabnya, kata Saldi, partai politik memiliki kewenangan penuh dalam melakukan seleksi terhadap para kadernya yang dianggap layak untuk diajukan sebagai bakal calon anggota DPR/DPRD, yang sesuai dengan visi-misi dan cita-cita partai politik.
"Ihwal kelebihan dan kekurangan masing-masing varian dalam sistem proporsional, sebetulnya partai politik dapat mencegah dengan memastikan bakal calon yang akan diajukan memiliki rekam jejak (track record) yang mampu memahami ideologi, visi-misi, dan cita-cita partai politik," kata Saldi.
Saldi mengatakan, selama ini partai politik kerap berpatokan kepada elektabilitas ketimbang mempertimbangkan pemahaman sang calon legislator.
Alhasil, sejumlah caleg yang didaftarkan dan lolos ke DPR memang mereka yang mempunyai elektabilitas tinggi, tetapi kerap mengenyampingkan persoalan pemahaman politik, ideologi, dan visi-misi.
"Bentangan empirik selama ini menunjukkan, banyak partai politik terjebak pada pertimbangan elektabilitas figur dalam menentukan calon untuk meraih suara pemilih dibandingkan dengan mempertimbangkan pemahaman calon terhadap ideologi, visi-misi, dan cita-cita partai politik yang bersangkutan," ucap Saldi.
"Artinya sikap pragmatisme sebagaimana yang didalilkan para pemohon tidak hanya merupakan pragmatisme calon tetapi juga dipicu oleh sikap pragmatisme sebagian partai politik," lanjut Saldi.
Maka dari itu menurut Saldi, jika hal itu tetap terjadi maka apapun sistem pemilu yang digunakan dan partai politik tidak berkomitmen memilih calon berdasarkan pemahaman politiknya maka pragmatisme calon anggota DPR/DPRD sulit dicegah.
Saldi dalam pertimbangannya menyatakan, partai politik tetap mempunyai peran sentral dalam menentukan bakal calon anggota DPR/DPRD yang dipandang dapat mewakili kepentingan, ideologi, rencana, dan program kerja partai politik.
"Dalam hal terdapat bakal calon anggota DPR/DPRD yang dinilai pragmatis sehingga tidak mempu menerjemahkan ideologi, visi-misi, dan cita-cita partai politik, yang dalam batas penalaran yang wajar dapat mengancam upaya mencapai kesamaan cita-cita dalam memperjuangkan dan membela kepentingan partai politik, anggota, masyarakat, bangsa dan negara, seyogyanya partai politik tidak mengajukan yang bersangkutan sebagai bakal calon anggota DPR/DPRD," kata Saldi.
"Bahkan jika telah terlanjur diajukan sebagai bakal calon, partai politik dapat meninjau atau mempertimbangkan kembali pencalonannya sebelum ditetapkan dalam daftar calon tetap," lanjut Saldi.
Saldi melanjutkan, partai politik seharusnya memiliki komitmen untuk mempertahankan kepentingan, ideologi, visi-misi, dan cita-citanya supaya tidak diperdaya oleh bakal calon anggota DPR/DPRD yang pragmatis.
Penyebabnya, menurut Saldi, partai politik adalah satu-satunya lembaga yang menjadi pintu masuk bagi para calon legislator.
"Harusnya partai politik mampu untuk menentukan bakal calon anggota DPR/DPRD yang akan diajukan sebagai calon ke Komisi Pemilihan Umum," ujar Saldi.
"Dalam posisi demikian, sistem pemilihan apapun yang dipakai, selama partai politik tidak memiliki komitmen untuk memilih calon berdasarkan pemahaman ideologi, visi-misi, dan cita-cita partai politik yang bersangkutan, ancaman pragmatisme calon anggota sulit dicegah," lanjut Saldi.
Saldi dalam pertimbangannya menilai partai politik sebenarnya mempunyai sejumlah cara buat menekan potensi caleg pragmatis. Hal itu menurut dia bisa dilakukan jika terdapat niat yang baik dan diwujudkan oleh partai politik.
"Bahwa perihal ancaman pragmatisme tersebut, partai politik seharusnya memiliki keberanian melakukan langkah strategis dalam pengusulan bakal calon anggota DPR/DPRD yakni menggunakan mekanisme pemilihan pendahuluan (preliminary election) atau mekanisme lain yang dilakukan secara transparan dan akuntabel untuk dapat menilai bakal calon," kata Saldi.
Saldi melanjutkan, pemilihan pendahuluan itu bisa digunakan untuk menilai pemahaman ideologi, visi-misi, dan cita-cita partai politik bakal calon anggota legislatif.
Di sisi lain, Saldi juga mengusulkan supaya para kader partai politik yang akan didaftarkan sebagai caleg DPR/DPRD sebaiknya terlebih dulu aktif di partai selama beberapa waktu. Hal itu, kata dia, dilakukan untuk memupuk pemahaman kader tentang visi-misi sampai agenda partai politik yang bersangkutan.
"Dalam konteks ini, selama partai politik melakukan seleksi yang didasarkan kepada kepentingan, ideologi, visi-misi, dan cita-citanya tidak terdapat alasan yang kuat untuk mengatakan calon anggota DPR/DPRD terjebak dalam pragmatisme dan tidak mewakili partai politik, bahkan merusak konsolidasi partai politik," ucap Saldi.
https://nasional.kompas.com/read/2023/06/16/05150081/saat-mk-menggugat-peran-partai-politik-soal-caleg-pragmatis