Sebagian terlihat sekali niatnya ingin dapat “perahu pelampung” yang paling tahan bocor dan pasti bisa mengapung, yang lainnya mungkin cukup sampai pada batas ikut “numpang tenar”, alias “panjat sosial”, alias disfemisme dalam bahasa orang pintar politik.
Memainkan politik jalan pintas kelihatannya tak lagi malu-malu. Ada banyak kalangan politisi berkeluh kesah, jika setelah sekian lama menumpang di parpol tertentu, berkiprah dan menjadi corong di garda paling depan, dengan tujuan ingin nyalon jadi eksekutif ternyata gatot—gagal total.
Bukan soal kredibilitas dan kapabilitas, dan juga bukan soal nomor urut, tapi ini soal munculnya tokoh-tokoh dadakan kelas atas yang tiba-tiba masuk barisan dan membuyarkan rencana para senior yang sudah berkalang tanah di dalam parpol selama bertahun-tahun, penuh “dedikasi” dan berharap pamrih terakhir mendapat kursi yang layak.
Dalam sebuah podcast di mana Kaesang Pangarep hadir sebagai tamu, obrolan kesana kemari akhirnya sampai pada titik pertanyaan,“mengapa Kaesang tak mengikut jejak Gibran berpolitik?”
Meskipun dijawab senda gurau, beberapa bulan lalu, santer tersiar kabar bahwa Kaesang ingin menceburkan diri ke danau politik praktis, setelah sebelumnya dibocorkan rahasianya oleh Gibran Rakabuming Raka.
Eh, hari ini kita sudah bisa melihat baliho dan spanduknya bertebaran di jalanan Kota Depok, Jawa Barat.
Menariknya adalah karena Partai Solidaritas Indonesia (PSI) yang menjadi pengusungnya. Setelah sebelumnya PSI pernah merasakan cinta bertepuk sebelah tangan, saat mendorong Ganjar Pranowo sebagai bakal capres, tapi justru parpol PDIP, induk semangnya saat itu malah ngotot memilih Puan Maharani. Namun belakangan memilih Ganjar.
Kini parpol berlambang setangkai mawar mencoba peruntungan baru, melihat peluang dengan melempar “dadu” politik. Siapa tahu disambut dan setidaknya PSI akan dapat nama.
Terserah apapun kata masyarakat soal aksi “cek ombak” politiknya itu—mau dibilang pansos, atau manuver cerdas.
Karena jika langkah politiknya itu bak gayung bersambut, ternyata mendapat respons publik, maka nama PSI akan terangkat lagi melalui langkah kaki Kaesang, putra dari Jokowi yang saat ini masih menjabat presiden sah.
Ada yang bilang ini adalah bagian dari cawe-cawe politik PSI karena melihat gelagat politik cawe-cawe tahun politik kali ini memang berbeda sekali dengan era presiden-presiden sebelumnya, yang tak berani blak-blakan ikut menjadi “king maker”.
Langkah Jokowi yang ingin secara khusus memilih sendiri capres-cawapres mana yang layak menjadi penggantinya karena khawatir soal legacy dan keberlanjutan pembangunan serta langkah politiknya, banyak menuai kritikan seperti disuarakan Jusuf Kalla dan Amien Rais yang melihat gelagat politik tidak sehat.
Politik cawe-cawe yang menular
Ibarat pandemi, cawe-cawe presiden ternyata memang berbuntut memancing parpol ikut bermain-main dalam pusaran politik. PSI kini bahkan blak-blakan berani menjadikan Kaesang seolah menjadi umpan.
Apalagi langkah kaki Jokowi dan Gibran di politik belakangan menjadi fenomena yang tidak biasa. Ketika “pertarungan” sesungguhnya terlihat mulai kentara.
Dasarnya tentu saja soal legacy dan keberlanjutan pembangunan yang sejauh ini kita amati sedang “diperjuangkan” oleh Jokowi. Meskipun ini menjadi hal yang tak biasa ketika presiden bermain terlalu jauh kedalam pusaran ombak politik.
Langkah itu menjadi semacam pemodelan bagi parpol lain yang bahkan parpol kecil untuk mencoba memainkan peran.
Menurut teman saya yang seorang penulis, langkah PSI itu disebutnya benar-benar seperti partai politik yang tidak punya program pengaderan. Sosok yang mereka jagokan lagi-lagi dari luar partai.
Dan lagi-lagi mengambil keuntungan dengan uji coba. Mengapa harus Depok, bukan Solo?
Secara politis, langkah PSI bisa jadi akan mendapat dukungan Jokowi. Setidaknya hingga saat ini ada tiga trah Jokowi yang sudah dan akan masuk dalam lingkaran politik Indonesia. Wali Kota Solo Gibran, Wali Kota Medan Bobby Afif Nasution dan berikutnya mungkin menyusul wali kota Depok.
Antara manuver dan pansos
Dengan manuver politik tersebut, pastilah publik akan terbelah antara pro dan kontra. Bagi publik, tentu akan melihat kapasitas PSI, mengapa tidak justru mendorong kadernya sendiri?
Atau jika dikaitkan dengan sepak terjangnya yang pahit karena gagal melenggang ke Senayan pada Pemilu 2019, barangkali manuver ini menjadi cara mereka agar bisa dilirik lagi.
Mendapat simpati, menjadi partai yang (jika berhasil) akan dua kali menebak dengan benar jawaban arah politik.
Memainkan bidak dalam papan catur politik harus sangat berhati-hati, dan sebisanya bukan yang membuatnya tersungkur, tapi justru diuntungankan dengan naiknya elektabilitas partainya.
Namun aksi tersebut seolah juga menunjukkan sikon ketika PSI tak bisa berbuat banyak dalam politik kita saat ini.
Jika terus mengikut induk, tapi tak bisa menelurkan regenerasi kader yang berbobot, padahal slogan partainya “muda dan berkualitas", lama kelamaan PSI akan menjadi ketinggalan langkah politiknya dan mengalami impotensi politik!
Soal Kaesang yang jadi pilihan PSI, sejauh ini dikenal luas sebagai anak presiden Jokowi yang paling suka berbisnis. Jika stimulan yang didorong PSI menjadi nyata, apakah itu artinya PSI akan mendulang ketenaran?
Benarkah langkah mengusung Kaesang adalah wujud pansos politik? Bahwa PSI tengah menjalani lakon disfemisme politik. Dari luar tampak laksana ingin membesarkan Kaesang, dari dalam terlihat ingin membesarkan partai sendiri.
Partai-partai lain juga terlihat agresif memainkan jurus pansos. Merapat ke barisan parpol atau koalisi yang terlihat punya kans besar.
Ikut dalam barisan memilih capres yang berelektabilitas tinggi, bukan sekadar memilih partai yang besar saja. Berharap pilihan politiknya tidak salah langkah dan bisa ikut terimbas ketenaran atau elektabilitasnya.
Babak politik menjelang pilpres 2024 makin dekat, otak harus diperas habis, apa yang harus ditempuh agar bisa menikmati kemenangan pertarungan politik yang penuh gengsi. Meskipun hanya partai gurem sekalipun.
Dan jika PSI lebih memilih menyorong kader luar daripada kader internal, bisa jadi memang sedang galau dan bingung.
Atau seperti kata teman saya, PSI sedang mabuk kepayang, tapi belum teler berat sampai merangkul tiang listrik yang disangka adik sepupu yang sudah lama hilang. Tapi, apapun kata orang, kelihatannya mereka cuek saja!
https://nasional.kompas.com/read/2023/06/06/10311261/kaesang-dan-psi-yang-tak-mau-bertepuk-sebelah-tangan-lagi