Menanggapi hal itu, pengamat internasional dari Universitas Bina Nusantara, Dinna Wisnu menilai, tidak diundangnya Myanmar dalam KTT ASEAN ke-42 bukan bermaksud memojokkan negara tersebut.
Menurut dia, Myanmar yang saat ini dikuasai oleh junta militer tidak memiliki pemimpin. Hal ini mengingat negara-negara ASEAN tidak mengakui junta militer sebagai pemerintahan resmi Myanmar sejak kudeta terjadi.
"Yang tidak diundang adalah kepala negaranya saja yang notabene saat ini tidak punya legitimasi, bahkan di dalam negeri sekalipun. Jadi bukan memojokkan Myanmar, tapi realitanya memang Myanmar tidak punya pemimpin," kata Dinna saat dihubungi Kompas.com, Senin (8/5/2023).
Meski tak diundang, ia berharap ada pembahasan mengenai percepatan penanganan krisis Myanmar di KTT ASEAN.
Ia beranggapan, masyarakat sipil di Myanmar harus menjadi perhatian ASEAN.
"Saya berharap ada percepatan penanganan ASEAN terhadap krisis Myanmar. Dan jangan sampai terbesit pikiran mengeluarkan Myanmar dari ASEAN," ucap dia.
Diketahui, Indonesia hingga kini memahami isu peningkatan kekerasan di Myanmar yang telah memakan banyak korban masyarakat sipil.
Negara di ASEAN pun terus melakukan pendekatan dan berusaha membantu menghentikan konflik yang terjadi lewat Konsensus Lima Poin (Five Points of Consensus/5PC).
Menteri Luar Negeri, Retno L. P. Marsudi beberapa waktu lalu juga menyatakan, 5PC harus menjadi satu-satunya rujukan keterlibatan ASEAN dengan junta militer di Myanmar. Artinya, tidak ada track pendekatan ASEAN selain 5PC untuk menyelesaikan masalah di Myanmar.
Kemudian pada pekan lalu, ia menyampaikan negara ASEAN sepakat tidak mengundang Myanmar pada level politik di KTT ASEAN ke-42.
Dalam KTT, sebanyak delapan kepala pemerintahan akan hadir, serta Sekjen ASEAN, dan Perdana Menteri Timor Leste.
https://nasional.kompas.com/read/2023/05/09/05100071/junta-militer-berkuasa-di-myanmar-alasan-tidak-diundang-ke-ktt-asean