JAKARTA, KOMPAS.com - Pernyataan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD, yang menyatakan pemerintah tidak akan menyampaikan permintaan maaf terkait 12 kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat masa lalu, dinilai masih menunjukkan negara bersikap setengah hati dalam menangani persoalan itu.
"Pernyataan Mahfud MD menunjukan sisi parsialitas dan sikap setengah hati pemerintahan dalam menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu," kata Ketua Badan Pengurus Centra Initiative Al Araf dalam keterangannya pada Kamis (4/5/2023).
Al Araf mengatakan, seharusnya pemerintah tidak hanya berkeinginan melakukan langkah rehabilitasi dan penyelesaian non yudisial atau di luar kerangka hukum terkait 12 kasus pelanggaran HAM itu. Namun, juga menyampaikan permintaan maaf kepada para penyintas dan ahli waris korban.
"Dengan tidak adanya permintaan maaf sama aja pemerintah tidak mengakui bahwa kasus kasus tersebut bukan sebagai sebuah kesalahan politik yang harus dikoreksi," ujar Al Araf.
Menurut Al Araf, penyelesaian kasus pelanggaran HAM masa lalu seharusnya dimulai dari proses pengungkapan kebenaran, kemudian dilanjutkan dengan pengakuan dan pemintaan maaf dari negara.
"Kemudian upaya rehabilitasi korban dan yang tidak kalah penting jangan menutup proses yudisial," ucap Al Araf.
"Di dalam rekomendasi penyelesaian non yudisial itu tidak ada permintaan maaf dari pemerintah kepada masyarakat karena peristiwa itu. Tetapi pemerintah menyatakan mengakui bahwa peristiwa itu memang terjadi dan pemerintah menyesali terjadinya peristiwa itu," ujar Mahfud di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa (2/4/2023).
"Jadi tidak ada permintaan maaf dan tidak ada perubahan status hukum terhadap peristiwa-peristiwa masa lalu. Yaitu misalnya TAP MPRS Nomor 25 Tahun 1966 tetap itu berlaku sebagai ketetapan yang tidak dapat diubah," tegasnya.
Selain itu, peristiwa-peristiwa pelanggaran HAM berat masa lalu yang sudah diputuskan oleh pengadilan juga tetap berlaku. Sehingga, lanjut Mahfud, pemerintah fokus kepada korban pelanggaran HAM berat masa lalu untuk 12 peristiwa.
"Dan peristiwa itu tentu tidak bisa ditambah oleh pemerintah karena menurut undang-undang (UU) menentukan pelanggaran HAM berat atau bukan itu adalah Komnas HAM," ungkapnya.
"Dan Komnas HAM merekomendasikan 12 yang terjadi sejak puluhan tahun yang lalu. Nah saya ingin masyarakat paham perbedaan antara pelanggaran HAM berat dan kejahatan berat," katanya.
Dalam kesempatan itu, Mahfud juga menegaskan bahwa pemerintah tidak mencari pelaku dalam proses penyelesaian non yudisial untuk peristiwa pelanggaran HAM berat masa lalu.
Sebab pemerintah sudah memutuskan adanya penyelesaian non yudisial yang lebih menitikberatkan kepada korban.
"Jadi ini titik beratnya pada korban, bukan pada pelaku. Kita tidak akan mencari pelakunya dalam penyelesaian non yudisial ini. Karena itu urusan Komnas HAM dan DPR," tuturnya.
Mahfud menjelaskan, apabila menyangkut pelakunya, maka hal itu berkaitan dengan penyelesaian secara yudisial (hukum).
"Nanti harus diputuskan oleh Komnas HAM bersama DPR untuk selanjutnya diserahkan kepada pemerintah," tegas Mahfud.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo mengakui adanya 12 peristiwa pelanggaran HAM berat yang terjadi di masa lalu.
Hal itu disampaikannya setelah menerima laporan dari Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia (PPHAM) di Istana Negara pada Rabu (11/1/2023). Jokowi menyatakan, sudah membaca secara seksama laporan tersebut.
"Saya telah membaca dengan seksama laporan dari Tim PPHAM yang berat yang dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 17 Tahun 2022. Dengan pikiran yang jernih dan hati yang tulus saya sebagai Kepala Negara Republik Indonesia mengakui bahwa pelanggaran HAM yang berat memang terjadi di berbagai peristiwa," ujar Jokowi.
Atas peristiwa itu, Jokowi mengaku menyesalkannya.
Berikut 12 peristiwa pelanggaran HAM berat yang diakui Kepala Negara:
(Penulis : Dian Erika Nugraheny | Editor : Dani Prabowo)
https://nasional.kompas.com/read/2023/05/04/17300501/tak-minta-maaf-soal-kasus-ham-berat-pemerintah-dinilai-setengah-hati