NASIHAT Wakil Presiden RI pertama ini terasa tajam sampai relung hati. Mempertegas ketidakjujuran sebagai penyakit diri yang menakutkan. Berbahaya dan kronis.
Begitulah setidaknya yang tergambar pada sejumlah pejabat negara yang – sekarang - kalau tidak mau disebut sejak lama bergelut dengan ketidakjujuran. Bekerja culas. Mengakali kewenangan untuk mendapatkan keuntungan pribadi.
Kasus Rafael Alun Trisambodo, eks pejabat Ditjen Pajak Kementerian Keuangan ini menjadi contoh paling terbaru atas perilaku ketidakjujuran.
Rafael sedemikian rupa menyiasati laporan kekayaannya yang tidak sesuai dengan portofolio pendapatan sebagai pejabat pajak.
Walhasil, ia harus mendapat pelakuan pahit. Komisi Antirasuah menetapkannya sebagai tersangka dugaan menerima gratifikasi. Perkaranya masih bergulir.
LHKPN dan Praktiknya
Laporan harta kekayaan pejabat negara (LHKPN) yang menjadi instrumen pencegahan tindak korupsi, bukanlah barang baru. Dalam sejumlah catatan menunjukan pencegahan tindak korupsi pejabat negara melalui pelaporan harta kekayaan sudah dilakukan sejak 1999.
Kala itu Presiden BJ. Habibie memprakarsai pembentukan Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelengara Negara (KPKPN) melalui Keppres No 81 Tahun 1999. Penekanan lembaga ini pada upaya pencegahan praktik penyelenggara negara dari tindak korupsi.
Kemudian lebih diperluas era Presiden Megawati Soekarnoputri menjadi lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi yang bagian tugasnya adalah pencegahan melalui pelaporan kekayaan.
Secara regulasi LHKPN diatur dalam Pasal 7, UU No 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Kemudian dioperasionalkan melalui Peraturan Komisi Pemberantasan Korupsi No 2 Tahun 2020 tentang Perubahan Peraturan KPK No 7/2016 tentang Tata Cara Pendaftaran, Pengumuman dan Pemeriksaan Harga kekayaan Penyelenggara Negara.
Berdasarkan regulasi tersebut menjadi jelas bahwa keberadaan LHKPN sebagai produk khusus milik KPK yang digunakan dan dikelola sebagai instrumen pencegahan tindak pidana korupsi. Marwah pencegahan tersebut dituangkan jelas dalam butir Peraturan KPK.
Sayangnya LHKPN yang menjadi instrumen pencegahan tidak dimanfaatkan optimal. Celakanya lagi yang tidak mengoptimalkan data LHKPN adalah lembaganya sendiri, KPK. Tragis.
Praktik LHKPN sudah dilakukan sejak KPK berdiri. Setumpuk data tentang LHKPN pejabat negara sudah pasti tersimpan di KPK.
Namun data itu tidak banyak digunakan sebagai alat pencegahan korupsi. Namun lebih banyak digunakan sebagai pelengkap dugaan korupsi atas pejabat bersangkutan.
Kenyataan ini tergambar dari kasus Rafael Alun Trisambodo yang telah melaporkan kekayaannya sejak tahun 2011.
Secara periodik laporan kekayaan itu tidak dianalisis secara baik. Hingga kemudian mengejutkan KPK sendiri atas temuannya bahwa kekayaan Rafael Alun meningkat Rp 32 miliar dalam 9 tahun bekerja. Bagaimana bisa?
Lonjakan kekayaan yang fantastis dalam kurun waktu singkat untuk pejabat setingkat Rafael tentu sangat tidak rasional. Bahkan peningkatan sebesar itu tidak mungkin terjadi pada pejabat di atasnya. Lagi-lagi bagimana itu bisa terjadi?
Tentu saja kritik yang harus diarahkan pada lembaga KPK. Sebagai pemegang dan pengelola data LHKPN, ternyata tidak berhasil membuat kajian terhadap data yang dimilikinya.
LHKPN hanya menjadi dokumen persyaratan belaka. LHKPN hanya sebagai aksesori dalam regulasi.
Jadikan LHKPN Warning Button
Membaca jelas Pasal 7 UU No 19 Tahun 2019 dan Pasal 7, 9, 10, 19 dan 21 pada Peraturan KPK No 2 Tahun 2020 memberikan sinyal kuat terhadap LHKPN, bukan hanya sebagai kelengkapan administrasi pencegahaan. Jauh dari itu menjadi instrumen yang perlu dianalisis setiap tahunnya.
Melihat pergerakan kekayaan pejabat negara, sekaligus melihat keabsahan dokumen pendukungnya.
Melalui analisis LHKPN inilah sepatutnya KPK bisa bekerja jauh. Berbekal data yang sahih dan terarsip baik dapat menjadi bahan baku bagi KPK melakukan berbagai upaya.
Mulai dari memberikan peringatan adminstrasi, peringatan dini sampai upaya lebih lanjut mengarah investigasi mendalam.
Peringatan dini atau warning button melalui LHKPN ini dapat dilakukan melalui pengukuran terhadap kenaikan kekayaan. Pasalnya, secara periodik pejabat negara harus melaporkan kekayaannya.
Bahkan dapat pula dilanjutkan dengan menganalisis dokumen kekayaan yang disampaikan, sehingga terlihat secara jernih dugaan ketidakwajaran kenaikan kekayaan pejabat.
Tujuannya tentu sama, mencegah pejabat negara melakukan berbagai tindakan yang mengarah pada korupsi. Sekaligus upaya KPK untuk menyelamatkan uang negara.
Dengan cara inilah LHKPN bisa digunakan sebagai warning button bagi KPK. Bukan sebatas aksesori regulasi, apalagi pelengkap dokumen tindak korupsi.
https://nasional.kompas.com/read/2023/04/06/11224061/memperlakukan-lhkpn-sebagai-peringatan-dini