Dengan duka yang mendalam, mari kita panjatkan doa kepada Tuhan Yang Maha Esa, semoga mereka menemukan kedamaian di alam yang baru.
Berdasarkan data terakhir, korban kebakaran Depo Pertamina mencapai 20 orang tewas. Ini tentu bukan hanya duka mereka, tetapi duka kita bersama. Ini duka Indonesia.
Indonesia tidak hanya berduka, tetapi juga mestinya merefleksikannya sebagai bencana kemanusiaan.
Namun beberapa hari terakhir, media-media elektronik memberitakan polemik dan aksi tuding-menuding tentang siapa penyebab bencana ini. Tidak sedikit yang menarik ke persoalan politik.
Lebih dari itu, ada kesan bahwa bencana kemanusiaan ini dijadikan sebagai alasan serang-menyerang dan komoditas politik.
Kesan ini rupanya cukup kuat di mata para korban sehingga warga RW 09 Kelurahan Rawa Badak Selatan yang juga menjadi korban kebakaran Depo Pertamina Plumpang, memasang spanduk berisikan tuntutan pertanggungjawaban PT Pertamina.
Selain itu, ada spanduk lainnya yang berisi permintaan agar bencana kebakaran Depo Plumpang tidak dipolitisasi (Metro.tempo.co, 11 Maret 2023).
Politik yang bertujuan mulia (bonum communae) mengalami distorsi karena melegalkan segala bentuk perjuangan, termasuk mengais keuntungan di atas korban.
Memang di saat seperti ini, kita tidak bisa protes bila kemudian beberapa pihak menghubung-hubungkannya dengan masalah politik.
Demokrasi memungkinkan setiap pendapat boleh diutarakan di ruang publik, tetapi dalam koridor yang benar. Jangan sampai dunia mengganggap praktik demokrasi kebablasan di Indonesia adalah hal yang biasa.
Bila demikian yang terjadi, maka mau tidak mau kita harus menerima semua label itu sebagai correctio interna.
Memang harus kita akui bahwa mempolitisasi semua urusan kemanusiaan adalah masalah laten. Tak mengherankan kita selalu berhadapan dengan polemik-polemik politik ketika terjadi bencana.
Hal ini tampak seperti ada yang memeliharanya. Jejak digital tak akan berbohong tentang polemik-polemik seperti ini.
Satu hal yang pasti bahwa tragedi Plumpang adalah insiden kemanusiaan. Dengan argumentasi dan legitimasi teori politik apapun tidak bisa membantah bahwa ini urusan kemanusiaan. Kemanusiaan adalah agama universal.
Oleh karena itu, bencana ini merupakan sebuah imperatif moral bagi semua orang untuk membacanya dari perspektif kemanusiaan.
Kemanusiaan sering disejajarkan dengan korban, karena kemanusiaan paling tampak dalam mereka yang menjadi korban, terhina, dan menderita.
Berhadapan dengan kemanusiaan, kita hampir tak menggunakan rasionalitas, melainkan empati dan sentimentalitas.
Oleh karena itu, ketika berhadapan dengan korban, orang tak perlu berargumentasi, berteori, atau beretorika melainkan membangun solidaritas dengan menempatkan diri sebagai korban. Ikut merasakan penderitaan bersama para korban.
Hal ini selaras dengan apa yang dikatakan Rorty bahwa berkotbah dan berteori di depan korban sama dengan kekejaman (Tan, 2018:84).
Kita tak perlu bertanya ‘mengapa’, yang korban butuhkan adalah ‘bagaimana dan apa’. Korban tak membutuhkan sejumlah alasan mengapa dia menjadi korban melainkan bagaimana upaya dan apa langkah untuk membantunya.
Hari ini, tragedi Plumpang memperlihatkan kepada kita masalah kemanusiaan. Keberpihakan kepada para korban mesti ditunjukkan.
Terhadap semua hal di atas, saya menganjurkan beberapa langkah dalam menjawab ‘bagaimana’ dan ‘apa’ untuk menunjukkan solidaritas terhadap para korban kemanusiaan.
Pertama; perdebatan dan tuding menuding di ruang publik dihentikan karena ini dosa bersama. Tidak ada yang layak mencuci tangan kemudian mencibir yang lain. Ini masalah kemanusiaan, masalah Indonesia, masalah bersama.
Mata seluruh bangsa ini mesti tertuju pada satu titik, yaitu bagaimana bahu membahu membantu para korban dengan semangat solidaritas dan kemanusiaan.
Kedua; tragedi di Plumpang bisa menjadi berkah terselubung (blessing in disguise) bagi bangsa ini. Saat ini bangsa kita tengah menghadapi berbagai persoalan yang sensitif dengan konflik dan isu perpecahan.
Tragedi Plumpang memang nestapa bersama, namun dapat menjadi berkah bila spiritualitas kemanusiaan memampukan kita keluar dari sekat-sekat agama, budaya, kepentingan kelompok, ras, politik, dan golongan untuk berbela rasa bersama terhadap para korban.
Dalam pergumulan peristiwa-peristiwa di atas, tragedi ini menjadi daya dorong kepada persatuan dan perdamaian bangsa.
Dengan itu pula terjadi kesadaran kolektif di antara kita (pemerintah, politisi, partai politik, pejuang kemanusiaan, dan elemen lain yang terlibat di dalamnya) untuk bangkit bersama melakukan rehabilitasi bencana Plumpang di segala aspek.
https://nasional.kompas.com/read/2023/03/12/17170231/tragedi-plumpang-dosa-dan-berkah-bersama