Hal itu disampaikan ketua majelis hakim Djuyamto saat membacakan pertimbangan putusan untuk terdakwa Direktur PT Diratama Jaya Mandiri, Irfan Kurnia Saleh atau John Irfan Kenway dalam sidang di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu (22/2/2023).
Majelis hakim sependapat dengan jumlah kerugian negara yang dihitung oleh Direktorat Deteksi dan Analisis Korupsi pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nomor: LHA-AF-05/DNA/08/2022 Tanggal 31 Agustus 2022, yang menyebutkan bahwa kerugian negara mencapai Rp 738,9 miliar.
Akan tetapi, menurut majelis hakim, jumlah tersebut bukan total loss atau total kerugian.
“Faktanya, helikopter angkut AW-101 benar adanya dan memiliki nilai materiil, namun belum dapat dimanfaatkan sesuai dengan tujuan pengadaannya,” kata Djuyamto, Rabu.
Djuyamto mengungkapkan, helikopter AW-101 telah diterima oleh TNI Angkatan Udara (AU) dan telah terdaftar dalam Barak Milik Negara (BMN) dengan nilai Rp 550.563.910.814.
Selain itu, terdapat kelebihan pembayaran yang telah disetorkan kepada negara oleh Irfan Kurnia Saleh sebesar Rp 31.689.290.000 sesuai rekomendasi BPK pada 7 November 2019.
Di samping itu, Djuyamto mengatakan, ada nilai pembayaran termin III dan IV sebesar Rp 139.424.620.909 yang masih berada di rekening lintas tahun atas nama PT Diratama Jaya Mandiri yang diblokir penyidik KPK.
Pembayaran itu dinilai dapat diperhitungkan sebagai pengembalian dari kerugian keuangan negara.
“Maka, sisa kerugian negara sebesar Rp 738,9 miliar dikurangi Rp 550.563.910.804 dikurangi Rp 31.689.290.000, dikurangi Rp 139.424.620.909, sehingga terdapat jumlah 17.222.178.277,” kata Djuyamto.
“Maka, terdapat Rp 17.222.178.277 sebagai jumlah yang harus dikenakan sebagai pengganti kepada diri terdakwa,” ujarnya lagi.
Irfan Kurnia Saleh dinilai terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah turut serta melakukan korupsi pengadaan helikopter angkut AW-101 di lingkungan TNI AU tahun 2015-2017.
Majelis hakim juga menjatuhkan hukuman berupa denda sebesar Rp 1 miliar subsider 6 bulan penjara, serta uang pengganti sebesar Rp 17,22 miliar subsider 2 tahun penjara.
Putusan ini lebih rendah daripada tuntutan jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang meminta majelis hakim menjatuhkan pidana selama 15 tahun penjara.
Majelis hakim menyebut, Irfan Kurnia Saleh terbukti melanggar Pasal 2 Ayat (1) jo Pasal 18 Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.
Menurut majelis hakim, Direktur PT Diratama Jaya Mandiri itu terbukti bersalah telah memperkaya diri sendiri, orang lain, maupun korporasi sehingga menimbulkan kerugian negara.
Irfan Kurnia Saleh dinilai terbukti melakukan korupsi pengadaan AW-101 itu dilakukan secara bersama-sama dengan sejumlah pihak, baik sipil maupun anggota TNI AU.
Tindakan ini dilakukan Irfan Kurnia bersama-sama dengan mantan Kepala Staf Angkatan Udara (KSAU) sekaligus Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) Agus Supriatna.
Tudingan tersebut sempat dibantah Agus dan pengacaranya. Mereka menilai tuduhan keterlibatan eks KSAU itu asal-asalan.
Pengacara juga menyebut Agus bahkan tidak menyentuh yang disebutkan dalam kasus ini sama sekali.
Kemudian, ada juga Kepala Dinas Pengadaan Angkatan Udara (KADISADA AU) dan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) periode 2015-20 Juni 2016 Heribertus Hendi Haryoko; KADISADA AU dan PPK periode 20 Juni 2016-2 Februari 2017 Fachri Adamy.
Selanjutnya, Asisten Perencanaan dan Anggaran (ASRENA) KSAU TNI AU periode 2015-Februari 2017 Supriyanto Basuki; dan Kepala Pemegang Kas (PEKAS) Mabes TNI AU periode 2015-Februari 2017 Wisnu Wicaksono.
Atas vonis tersebut, Irfan Kurnia Saleh bersama tim penasihat hukumnya, maupun jaksa KPK menyatakan pikir-pikir terkait upaya hukum lanjutan atau banding.
https://nasional.kompas.com/read/2023/02/22/21493251/hakim-sebut-kerugian-negara-dari-korupsi-helikopter-aw-101-capai-rp-1722