Alasannya, menurut Bagja, masih ada sedikitnya 12 kabupaten yang menerapkan sistem noken. Jumlah ini hanya sebagian kecil distrik di kabupaten tersebut yang menerapkan sistem tersebut.
Beberapa distrik di kabupaten yang menggunakan sistem noken disebut sebetulnya sudah mengakomodasi sistem 1 pemilih 1 pilihan (one man one vote).
"Misalnya, (Distrik) Yalimo, one man one vote, bukan noken. Tapi, kabupaten induknya, Jayawijaya, itu noken. Itu logikanya enggak masuk di situ, seharusnya (Yalimo) noken juga. Jadi rusak pemilunya," ungkap Bagja dalam diskusi di Kementerian Dalam Negeri, Senin (20/2/2023).
Bagja mengaku mengetahui masalah ini sebab pada pemilu sebelumnya ia merupakan pengawas pemilu untuk wilayah Tanah Papua.
Contoh lain, kata dia, di Kabupaten Nabire, Papua Tengah, hanya satu distrik yang menerapkan sistem noken. Pun di Kabupaten Jayapura, Papua.
Bagja mengaku, sebetulnya ia berharap sistem noken tak lagi dipakai, tetapi ia mengakui bahwa peralihan total ke sistem one man one vote masih butuh waktu.
Oleh karena itu, mengalihkan sistem noken ke distrik dianggap sebagai langkah tepat. KPU daerah di Tanah Papua diminta memetakan sistem apa yang relevan di masing-masing distrik.
"Jadi teman-teman KPU Papua kita paksa mengenali distriknya masing-masing, seharusnya bisa," ujar Bagja.
"Kami mengusulkan, di wilayah Papua itu tidak bisa sistem noken di tingkat kabupaten. Kalau mau noken itu ditetapkan per distrik, bukan per kabupaten," tegasnya.
Model pertama yaitu sistem noken gantung. Para pemilih bermusyawarah untuk menentukan kandidat yang dipilih sebelum memberikan suara secara kolektif.
Model kedua menggunakan kepala suku, di mana seluruh pemilih di wilayah itu sepakat menyerahkan pilihan mereka sesuai dengan pilihan kepala suku.
https://nasional.kompas.com/read/2023/02/20/22305871/bawaslu-berharap-sistem-noken-di-tanah-papua-diubah-per-distrikpada-2024