Dikutip dari Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) PTUN Jakarta, gugatan telah didaftarkan dengan nomor 2/G/2023/PTUN.JKT per 3 Januari 2022 lalu. Penggugat merupakan seorang advokat bernama Priyanto Hadisaputro.
Dalam gugatannya, Priyanto meminta PTUN untuk membatalkan Surat Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 114/P Tahun 2022 tanggal 3 November 2022 tentang Pemberhentian dan Pengangkatan Hakim Konstitusi yang Diajukan oleh DPR.
Lewat Keppres itu, Jokowi mengangkat Guntur, yang sebelumnya Sekretaris Jenderal MK, menjadi hakim konstitusi. Kemudian, resmi dilantik pada 23 November 2022.
“(Memohon majelis hakim) mewajibkan tergugat (Jokowi) untuk mencabut Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 114/P Tahun 2022 tanggal 3 November 2022 tentang Pemberhentian dan Pengangkatan Hakim Konstitusi yang Diajukan oleh DPR, sepanjang menyangkut pengangkatan Prof. Dr. M. Guntur Hamzah, S.H., M.H., sebagai Hakim Konstitusi,” tulis gugatan tersebut.
Pengangkatan Guntur karena alasan politik?
Alasan DPR mencopot Aswanto mengejutkan. Ketua Komisi III DPR RI Bambang Wuryanto terang-terangan menyatakan bahwa langkah tersebut merupakan keputusan politik
"Ini adalah keputusan politik," kata pria yang karib disapa Bambang Pacul itu di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Jumat (30/9/2022).
Bambang Pacul mengatakan, kinerja Aswanto mengecewakan karena kerap membatalkan produk undang-undang dari DPR.
Padahal, Aswanto merupakan hakim konstitusi yang dulunya terpilih dari usulan anggota legislatif.
"Tentu mengecewakan dong. Ya gimana kalau produk-produk DPR dianulir sendiri oleh dia, dia wakilnya dari DPR. Kan gitu toh," ujar Bambang Pacul.
Aswanto juga dinilai tidak punya komitmen dengan DPR. Sehingga, legislator akhirnya memutuskan untuk menggantinya dengan sosok lain.
"Dasarnya Anda tidak komitmen. Enggak komit dengan kita. Ya mohon maaflah ketika kita punya hak, dipakailah," kata Bambang Pacul.
Pencopotan Aswanto oleh DPR ini seketika ditentang banyak pihak. Awal Oktober 2022, sejumlah kelompok masyarakat sipil sempat menggelar aksi protes di depan gedung MK menentang keputusan itu.
Kelompok masyarakat sipil tersebut di antaranya terdiri dari Indonesia Corruption Watch (ICW), Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), dan lainnya.
Mereka menilai bahwa DPR telah menunjukkan arogansinya karena mencopot Aswanto. Kelompok masyarakat ini pun meminta agar keputusan DPR itu dibatalkan.
"DPR mesti mengubah keputusannya yang memberhentikan Hakim Konstitusi Aswanto dan memulihkan hak Aswanto sebagai Hakim Konstitusi," kata perwakilan dari Perludem, Titi Anggraini, kepada wartawan, Selasa (4/10/2022).
"DPR harus patuh dan tunduk pada konstitusi, Undang-Undang Mahkamah Konstitusi, Putusan MK, serta peraturan perundang-undangan lain terkait pengangkatan dan pemberhentian seorang Hakim Konstitusi," ujarnya lagi.
Sejumlah mantan Hakim MK juga sempat berkumpul di gedung MK. Di antaranya, Mahfud MD yang kini menjadi Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam); Jimly Asshiddiqie; Maruarar Siahaan; dan Hamdan Zoelva.
Ada juga Laica Marzuki, Haryono, Ahmad Sodiki, Maria Farida Indrati, dan I Dewa Gede Palguna.
Sebelumnya, mantan Ketua MK Jimly Asshiddiqie mengatakan, masa jabatan Aswanto baru selesai pada 2029 jika merujuk Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang MK. Sehingga, DPR bisa dinyatakan melanggar undang-undang karena mencopot Aswanto.
"Dengan tindakan dari DPR kemarin, hasil kerja dari Komisi III yang disahkan di paripurna itu sama dengan perwakilan rakyat Indonesia memecat hakim konstitusi bernama Profesor Aswanto tanpa dasar dan melanggar prosedur hukum," kata Jimly saat dihubungi, Jumat (30/9/2022).
Ketika itu, Jimly menyarankan agar Presiden Jokowi tak menindaklanjuti keputusan DPR dengan tidak menerbitkan keputusan presiden (keppres) terkait pemberhentian Aswanto ataupun mengangkat hakim penggantinya.
Menurut Jimly, apabila Jokowi menerbitkan keppres pemberhentian Aswanto, perkara ini rawan digugat ke PTUN karena dinilai tak berdasar.
"Dasarnya tidak ada, prosedur dilangkahi dengan semena-mena dan sewenang-wenang. Maka jauh lebih baik bagi presiden tidak menerbitkan Keppres sama sekali," kata Jimly.
"Presiden harus tegas, jangan ditindaklanjuti karena tidak benar mekanismenya," ujarnya lagi.
Jokowi pun sempat angkat bicara terkait ini. Tetapi, saat itu, ia tak menjawab gamblang.
Jokowi hanya mengatakan, semua pihak harus menaati aturan, baik yang tertuang dalam UUD 1945 maupun peraturan di bawahnya.
"Kita semua harus taat pada aturan, aturan konstitusi maupun aturan undang-undang. Sudah, pegangannya itu saja," kata Jokowi di depan Istana Merdeka, Jakarta, pada 5 Oktober 2022.
https://nasional.kompas.com/read/2023/01/09/12122141/jokowi-digugat-ke-ptun-soal-guntur-hamzah-jadi-hakim-konstitusi