"Pilihan (dapil seperti apa) yang akan diambil KPU tentu akan memberi efek pada suara partai. Level (dampaknya) tergantung kebijakannya," kata Arya dalam diskusi virtual yang diselenggarakan oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Kamis (22/12/2022).
Sebagai informasi, sejak tahun 2008, dapil DPR RI ditentukan oleh DPR RI, tanpa kriteria yang akuntabel, lewat UU Pemilu.
Kemudian, mulai 2017, DPR RI lewat UU Pemilu teranyar mengatur bahwa mereka turut berwenang menetapkan dapil DPRD provinsi, juga tanpa parameter yang jelas.
Mahkamah Konstitusi (MK) lewat putusan nomor 80/PUU-XX/2022, Selasa (20/12/2022), membatalkan kewenangan parlemen menentukan dapil dan menyerahkannya ke KPU RI sebagai otoritas penyelenggara pemilu.
Hal ini menyebabkan tak sedikit dapil DPR RI dan DPRD provinsi dalam lewat Lampiran III dan IV UU Pemilu, disebut bermasalah.
Sebab, terdapat beberapa wilayah yang dipaksakan digabung sebagai satu dapil hanya demi memenuhi alokasi kursi minimal, tanpa memperhatikan latar belakang sosiologis wilayah itu yang berbeda.
Hal ini terjadi pada Dapil Jawa Barat III, di mana Kota Bogor dipaksa satu dapil dengan Kabupaten Cianjur. Padahal, karakteristik kedua wilayah berlainan dan disekat oleh wilayah Kabupaten Bogor.
Dapil Kalimantan Selatan II juga setali tiga uang. Kota Banjarmasin dipaksa bergabung dalam dapil yang sama dengan Tanah Bumbu, Tanah Laut, dan Kotabaru.
Di samping itu, dapil seharusnya juga mencerminkan rasio yang proporsional antara jumlah penduduk dengan alokasi kursi parlemen.
Kenyataannya, beberapa daerah seperti Sulawesi justru alokasi kursinya kurang, sedangkan daerah lain seperti Jawa Barat 7 dan Banten justru kelebihan alokasi kursi. Hal ini menyebabkan ada dapil yang kurang terwakili (under-represented) dan kelebihan wakil (over-represented).
Pertama, KPU hanya menata ulang sedikit dapil yang kontroversial. Jika ini yang terjadi, maka parpol parlemen diprediksi tak akan terganggu, karena dapil tak banyak berubah.
"Kalau KPU mengambil status quo. Dugaan saya, efek ke suara partai tidak terlalu banyak berpengaruh, terutama pada partai parlemen. Setelah kita melakukan pemilu secara demokratis, 5 kali pemilu pascareformasi, sudah terbentuk stabilitas suara pemilih," kata Arya.
Kedua, KPU menata ulang sejumlah dapil yang bermasalah dari segi proporsionalitas jumlah penduduk dan alokasi kursi.
Arya mengungkapkan, opsi kedua ini berpeluang mengganggu suara parpol besar tetapi tak signifikan. Parpol papan bawah diprediksi dapat mengais remah-remah.
"Tentu diprediksi akan terjadi proses lobi/negosiasi di partai-partai menengah bawah dan partai besar. Kalau ada perubahan pendapilan tentu suara mereka akan terjadi penyesuaian-penyesuaian," ujarnya.
Ketiga, KPU bisa saja melakukan langkah progresif dengan menata ulang seluruh dapil. Hal ini diperkirakan bakal memberi peluang bagi parpol pendatang baru untuk merebut alokasi kursi di dapil yang sebelumnya dikuasai parpol parlemen.
"Dugaan saya pilihan ini akan mendapatkan dukungan dari partai-partai nonparlemen dan partai baru. Kenapa begitu? Karena kalau kebijakannya progresif, ada penataan ulang seluruh dapil, tentu level kompetisi di dapil akan berubah," kata Arya.
"Dalam 2-3 pemilu, hampir selalu partai-partai tertentu saja yang dapat kursi," ujarnya lagi.
Namun, ia mengatakan, apapun kebijakan yang akan diambil KPU harus memastikan dapil itu menimbulkan persaingan politik yang sehat antar peserta pemilu.
https://nasional.kompas.com/read/2022/12/22/20490881/csis-penataan-dapil-oleh-kpu-pengaruhi-nasib-parpol-senayan-di-2024