JAKARTA, KOMPAS.com - Majelis hakim pengadilan hak asasi manusia (HAM) memvonis bebas terdakwa kasus pelanggaran HAM berat Paniai, Papua, Mayor Inf (Purn) Isak Sattu, Kamis (8/12/2022).
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menilai, pengadilan pelanggaran HAM berat Paniai tidak siap sejak awal.
Deputi Koordinator Kontras Rivanlee Anandar mengatakan, ketidaksiapan ini sudah terlihat sejak awal.
"Proses pencarian majelis hakim yang juga terdiri dari hakim ad hoc tercatat tidak berlangsung dengan berkualitas," kata Rivanlee dalam keterangan tertulis, Jumat (9/12/2022).
Sebagai catatan, terdapat delapan hakim ad hoc yang lolos seleksi akhir Mahkamah Agung untuk mengampu sidang Tragedi Paniai.
Empat di antaranya bertugas untuk pengadilan tingkat pertama yang telah berakhir dengan pembacaan vonis di Pengadilan Negeri Makassar, yakni Siti Noor Laila (mantan komisioner Komnas HAM), Robert Pasaribu (ASN), Sofi Rahmadewi (dosen), serta Anselmus Aldrin Rangga Masiku (advokat).
Empat lainnya, Mochamad Mahin (mantan hakim), Fenny Cahyani (advokat), Florentia Switi Andari (advokat) , dan Hendrik Dengah (dosen) lolos untuk pengadilan HAM tingkat banding.
Nama-nama ini dianggap aktivis dan pegiat HAM kurang berkompeten untuk menangani perkara seberat Tragedi Paniai 2014.
Di samping itu, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menemukan, hakim-hakim ad hoc ini belum pernah menerima hak keuangan mereka sejak terpilih.
Rivanlee menambahkan, proses pembuktian di persidangan pun juga dinilai tak berlangsung maksimal.
"Minimnya eksplorasi dari majelis hakim dan kendala teknis selama persidangan juga patut menjadi catatan," ujarnya.
"Pengadilan HAM atas Peristiwa Paniai ini terkesan tidak siap menyelenggarakan proses terhadap peristiwa hukum sepenting kejahatan kemanusiaan," jelas Rivanlee.
Kontras mendesak supaya pemerintah Indonesia menyikapi serius Tragedi Paniai ini, termasuk vonis bebas atas Isak Sattu selaku terdakwa tunggal yang ditetapkan oleh Kejaksaan Agung dari peristiwa ini.
"Pemerintah harus menyikapinya dengan serius. Sebagai catatan, Peristiwa Paniai adalah pelanggaran HAM berat yang terjadi di masa pemerintahan yang sedang berlangsung di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo," ungkapnya.
"Proses dan hasil yang buruk tentu dapat dianggap sebagai kualitas dan kapasitas pemerintahan hari ini. Sejarah akan merekam dengan jelas seluruh catatan akan prosesnya," tambah Rivanlee.
Keluarga korban pelanggaran HAM berat Paniai pun mengaku kecewa, namun tak terkejut dengan vonis majelis hakim HAM yang memvonis bebas terdakwa Isak Sattu dalam sidang pembacaan putusan di Pengadilan Negeri (PN) Makassar, Kamis (8/12/2022).
Pendamping korban, Yones Douw, menyebut vonis tersebut melegitimasi pesimisme keluarga untuk mendapatkan keadilan lewat pengadilan HAM berat ini.
"Kami keluarga korban 4 siswa dan 17 orang luka-luka menolak sejak jaksa agung menetapkan 1 tersangka itu," kata Yones dalam keterangan tertulis, Jumat (9/12/2022).
Ia menambahkan, penetapan Isak, perwira penghubung Kodim 1705/Paniai, sebagai satu-satunya tersangka oleh Kejaksaan Agung dalam peristiwa berdarah ini sudah cukup membuat mereka yakin bahwa majelis hakim kelak akan membebaskannya dari vonis.
"Dengan alasan 1 tersangka, maka putusan pengadilan terakhir nanti dibebaskan. Dugaan kami itu menjadi kenyataan sekarang," kata Yones.
Ia juga menyinggung proses hukum yang sejak awal dilakukan minim partisipasi keluarga korban dan saksi dari kalangan masyarakat sipil.
Proses hukum pelanggaran HAM berat Paniai dinilai sudah tidak berpihak pada korban. Ini yang menyebabkan mereka menyatakan menolak menyaksikan persidangan Isak sejak awal.
Tentang Tragedi Paniai
Tragedi Paniai terjadi pada 7-8 Desember 2014.
Berdasarkan versi Komnas HAM, sebanyak 4 orang warga tewas ditembak serta ditikam dan 21 lainnya dianiaya aparat ketika warga melakukan aksi protes terkait pengeroyokan aparat TNI terhadap kelompok pemuda sehari sebelumnya.
Penetapan peristiwa ini sebagai pelanggaran HAM berat baru terjadi pada Februari 2020, setelah Komnas HAM merampungkan penyelidikan dan menganggapnya memenuhi unsur sistematis dan meluas--melibatkan kebijakan dari penguasa.
Komnas HAM menduga anggota TNI yang bertugas pada peristiwa tersebut, baik dalam struktur komando Kodam XVII/Cendrawasih sampai komando lapangan di Enarotali, Paniai, sebagai pelaku yang bertanggung jawab.
Kejaksaan Agung baru menindaklanjutinya dengan penyidikan pada Desember 2021, mengeklaim telah memeriksa 7 warga sipil, 18 orang dari kepolisian, 25 orang dari unsur TNI, serta 6 pakar selama 4 bulan.
Kejaksaan Agung menetapkan Mayor Inf (Purn) Isak Sattu sebagai satu-satunya tersangka walaupun yang bersangkutan hanya berstatus perwira penghubung Kodim Paniai dan dinilai tak punya kewenangan mengendalikan markas.
Padahal, dalam konteks pelanggaran HAM berat, kejahatan kemanusiaan dilakukan sistematis dan meluas, terlebih ada pertanggungjawaban rantai komando dalam tubuh TNI dari setiap tindakan sehingga tidak mungkin tindakan markas hanya melibatkan 1 orang.
Komnas HAM juga menduga bahwa Tragedi Paniai tidak bisa dilepaskan dari Operasi Pengamanan Daerah Rawan (Pamrahwan) ketika itu.
"Operasi sebesar itu masa penanggungjawabnya dia (IS)? Ini lah problem pengadilan ini. Dakwaan jaksa berhenti pada peristiwa pagi itu. Komnas HAM melihat dia akibat dari peristiwa sebelumnya yang berkaitan dengan Pamrahwan. Dalam dakwaan jaksa tidak ada itu," jelas eks komisioner Komnas HAM Amiruddin Al Rahab kepada wartawan, Kamis (10/11/2022).
https://nasional.kompas.com/read/2022/12/09/17592301/kontras-nilai-pengadilan-ham-berat-paniai-tak-siap-pemerintah-harus-sikapi
Periksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & Ketentuan