Salin Artikel

Politisi Mengontrol Palu Hakim Konstitusi

Pemberhentian Aswanto tidak hanya menyisahkan kontroversi, juga cacat prosedur. Surat pemberitahuan yang disampaikan oleh Mahkamah Konstitusi kepada DPR itu adalah surat pemberitahuan mengenai jabatan hakim konstitusi setelah perubahan ketiga UU MK.

Surat MK ke DPR hanya sekadar surat pemberitahuan sebagaimana surat MK ke Presiden dan Mahkamah Agung. Dari ketiga lembaga itulah hakim konstitusi diusulkan.

Rupa-rupanya, surat pemberitahuan itu dimaknai sebagai surat evaluasi bagi kinerja hakim MK yang diusulkan oleh DPR.

Untuk itu, Komisi III DPR melakukan rapat marathon. Dalam waktu sekejap, tanggal 29 September 2022, Guntur Hamzah dipanggil masuk ke ruang sidang Komisi Hukum itu.

Dalam Paripurna DPR bertanya kesiapan Guntur menggantikan Aswanto di sidang kilat itu. Hari itu juga Aswanto diberhentikan.

DPR berkirim surat ke Presiden untuk menindaklanjuti keputusan Paripurna Dewan. Surat pemberitahuan pergantian hakim yang dikirim DPR cacat prosedur.

Seharusnya surat pemberhentian hakim dikirim oleh MK ke Presiden, bukan oleh DPR. Tetapi rupanya Presiden setuju dengan pergantian itu. Dengan menabrak prosedur pergantian hakim, Presiden menerbitkan surat keputusan pemberhentian Aswanto dan pengangkatan Guntur.

Setelah pemberhentian Aswanto, kesannya MK bukan lagi "dipilih oleh" DPR, Presiden dan MA, melainkan dipilih "dipilih dari".

Artinya lembaga pengusul yang punya "saham" di MK. Maka keputusan MK harus menguntungkan pemegang saham.

Dari pengalaman yang menimpa Aswanto, MK sudah berada diujung tanduk, lembaga ini sedang dilemahkan.

Pelemahan institusional belakangan ini dilakukan dengan cara-cara yang cukup vulgar, yaitu melalui perubahan aturan undang-undang. Hal itu terjadi pada KPK dan sekarang sedang diupayakan ke Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan.

Caranya sama, mengubah undang-undang dengan melucuti independensi lembaga-lembaga itu baik dengan cara yang kasar seperti dilakukan pada KPK, maupun dengan cara yang lebih halus seperti membuka kemungkinan masuknya orang-orang partai politik atau mengubah norma dengan menambahkan klausul baru mengenai pengisian jabatan seperti yang hendak dilakukan pada MK sekarang ini.

Fenomena ini mirip dengan cara penguasa-penguasa tiran mengakumulasi kekuasaan untuk memperluas pengaruhnya, bahkan antarcabang kekuasaan.

Tujuannya adalah: pertama dengan mengontrol lembaga-lembaga inti, kedua melucuti independensi lembaga-lembaga tersebut.

Mengontrol Mahkamah

Setelah menendang Aswanto, kini tersebar kabar bahwa Presiden dan DPR akan melakukan amandemen ke empat UU Mahkamah Konstitusi. Beberapa pasal dalam draf RUU perubahan itu telah dibuat.

Sekarang beredar kabar, bahwa DPR sedang mempersiapkan perubahan ketiga UU MK. Dalam draft RUU perubahan itu mengatur tentang evaluasi bagi hakim konstitusi tiap lima tahun, atau apabila ada laporan masyarakat mengenai kinerja hakim konstitusi, lembaga pengusul dapat mengevaluasi hakim konstitusi kapanpun.

Dalam rencana perubahan itu, terdapat pasal baru yang akan disisipkan. Dalam bahasa yang kritis, pasal yang diselundupkan.

Yaitu pasal 27C yang memberikan kewenangan kepada lembaga, yakni DPR, Presiden dan Mahkamah Agung sebagai pengusul untuk melakukan evaluasi terhadap Hakim MK.

Mekanisme evaluasi seperti ini tidak dikenal dalam mekanisme chek and balances antar tiga cabang kekuasaan (legislatif, eksekutif, yudikatif).

Setiap cabang kekuasaan memiliki tugas, kewenangan fungsi dan kedudukan masing-masing. Sebagai negara uang menganut sistem distribution of power, pengisian jabatan dari masing-masing lembaga dilakukan dengan mekanisme politik.

Meskipun hakim MK tidak dipilih langsung oleh rakyat sebagaimana Presiden dan DPR, tetapi seleksi hakim dilakukan secara independen dengan tetap memperhatikan masukan masyarakat.

Dalam konteks pengusulan itu, lembaga pengusul cukup mengusulkan, menyeleksi, dan menyetujui.

Sementara Presiden berwenang mengeluarkan keputusan pengangkatan hakim yang telah di seleksi dan diuji kelayakannya oleh DPR.

Selesai itu, baik DPR, MA, dan Presiden tidak bisa lagi mengurus urusan internal MK. Karena mekanisme kontrol bagi Hakim di MK sudah diatur secara internal melalui majelis kehormatan.

Kalau pasal 27C ini berlaku nantinya, maka independensi hakim cukup dikhawatirkan.

Bayangkan saja, setiap keputusan hakim, misalnya, dalam perkara pengujian UU atau dalam perkara Sengketa Pemilu atau Pemilukada, ada keputusan yang tidak memuaskan salah satu pihak, hakim MK dilaporkan, maka setiap saat hakim MK akan dievaluasi oleh lembaga pengusulnya.

Dampaknya hakim MK akan menjadi bulan-bulanan dievaluasi. Bahkan akan ada ketakutan untuk memutuskan perkara yang ditanganinya atas dasar kemandirian dan kemerdekaan hakim.

Apalagi perkara yang ditangani menyangkut kepentingan politik, seperti Pilkada, Pileg dan pilpres. Tentu Hakim MK akan sangat menggantungkan putusannya pada keberpihakan kekuasaan.

Bagi saya, intervensi terhadap pengadilan sudah mulai berjalan secara terstruktur, melemahkan institusi-institusi inti negara (main state organ) untuk kepentingan politik para politisi dan penguasa. Siapapun yang berkuasa itu.

Bagi saya ini bukan lagi intervensi biasa, inilah cara mengontrol hakim. Kalau hakim sudah dikontrol, artinya hakim sedang dikendalikan.

Apabila hakim sudah dikendalikan, maka jangan harap keadilan akan ditegakkan. Maka memutuskan "Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa", hanya menjadi pajangan saja di berkas keputusan.

Hilangnya independensi dan kemerdekaan hakim bukan hal yang sepele, karena pada hakim pencari keadilan mengadu.

Kalau hakim konstitusi sudah dikendalikan dan dikontrol oleh kepentingan politik, maka konstitusi hanya milik penguasa. Semoga itu tidak terjadi.

https://nasional.kompas.com/read/2022/11/26/06063861/politisi-mengontrol-palu-hakim-konstitusi

Terkini Lainnya

Cak Imin Sebut Pemerintahan Jokowi Sentralistik, Kepala Daerah PKB Harus Inovatif

Cak Imin Sebut Pemerintahan Jokowi Sentralistik, Kepala Daerah PKB Harus Inovatif

Nasional
Pemerintah Akan Pastikan Status Tanah Warga Terdampak Erupsi Gunung Ruang serta Longsor Tana Toraja dan Sumbar

Pemerintah Akan Pastikan Status Tanah Warga Terdampak Erupsi Gunung Ruang serta Longsor Tana Toraja dan Sumbar

Nasional
Ahmed Zaki Daftarkan Diri ke PKB untuk Pilkada DKI, Fokus Tingkatkan Popularitas

Ahmed Zaki Daftarkan Diri ke PKB untuk Pilkada DKI, Fokus Tingkatkan Popularitas

Nasional
Sengketa Pileg, Golkar Minta Pemungutan Suara Ulang di 36 TPS Sulbar

Sengketa Pileg, Golkar Minta Pemungutan Suara Ulang di 36 TPS Sulbar

Nasional
Mendagri Sebut Biaya Pilkada Capai Rp 27 Triliun untuk KPU dan Bawaslu Daerah

Mendagri Sebut Biaya Pilkada Capai Rp 27 Triliun untuk KPU dan Bawaslu Daerah

Nasional
Airin Ingin Bentuk Koalisi Besar untuk Mengusungnya di Pilkada Banten

Airin Ingin Bentuk Koalisi Besar untuk Mengusungnya di Pilkada Banten

Nasional
Sebut Warga Ingin Anies Balik ke Jakarta, Nasdem: Kinerjanya Terasa

Sebut Warga Ingin Anies Balik ke Jakarta, Nasdem: Kinerjanya Terasa

Nasional
Caleg PSI Gugat Teman Satu Partai ke MK, Saldi Isra: Berdamai Saja Lah

Caleg PSI Gugat Teman Satu Partai ke MK, Saldi Isra: Berdamai Saja Lah

Nasional
Irigasi Rentang Targetkan Peningkatan Indeks Pertanaman hingga 280 Persen

Irigasi Rentang Targetkan Peningkatan Indeks Pertanaman hingga 280 Persen

Nasional
Kuasa Hukum Caleg Jawab 'Siap' Terus, Hakim MK: Kayak Latihan Tentara, Santai Saja...

Kuasa Hukum Caleg Jawab "Siap" Terus, Hakim MK: Kayak Latihan Tentara, Santai Saja...

Nasional
Heboh Brigadir RAT Jadi Pengawal Bos Tambang, Anggota DPR: Tak Mungkin Atasan Tidak Tahu, Kecuali...

Heboh Brigadir RAT Jadi Pengawal Bos Tambang, Anggota DPR: Tak Mungkin Atasan Tidak Tahu, Kecuali...

Nasional
Geledah Setjen DPR dan Rumah Tersangka, KPK Amankan Dokumen Proyek hingga Data Transfer

Geledah Setjen DPR dan Rumah Tersangka, KPK Amankan Dokumen Proyek hingga Data Transfer

Nasional
Ditegur MK Tak Serius Ikuti Sidang, KPU Mengaku Punya Banyak Agenda

Ditegur MK Tak Serius Ikuti Sidang, KPU Mengaku Punya Banyak Agenda

Nasional
Korlantas Sebut Pelat Khusus “ZZ” Terhindar Ganjil-Genap Jika Dikawal

Korlantas Sebut Pelat Khusus “ZZ” Terhindar Ganjil-Genap Jika Dikawal

Nasional
Polri Bentuk 10 Satgas Pengamanan untuk World Water Forum Ke-10 di Bali

Polri Bentuk 10 Satgas Pengamanan untuk World Water Forum Ke-10 di Bali

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke