Sebab dalam draf RKUHP tertanggal 24 November 2022, tidak ada pembatasan yang jelas soal penghinaan tersebut.
“Apa yang dimaksud dengan penghinaan pemerintah itu, kata-kata itu harus ditambah dalam penjelasan supaya tidak multitafsir,” ujar Johan Budi dalam rapat kerja bersama Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Kamis (24/11/2022).
“Siapapun yang berkuasa nanti, dia tidak akan menafsirkan sesuai apa yang menjadi kemauan pemerintah,” katanya lagi.
Johan Budi khawatir jika tak dibatasi, Pasal 240 terkait penghinaan pemerintah bisa dipakai oleh penguasa untuk mengkriminalisasi pihak-pihak yang tak sepaham.
“Kalau yang mengkritik itu pendukungnya enggak di apa-apain, itu kan yang terjadi selama ini kan? Kalau tidak sekubu atau tidak pendukungnya seolah-olah dikriminalisasi,” ujarnya.
Dalam pandangannya, pemerintah juga harus menambahkan di bagian penjelasan mengenai perbedaan menghina, mengkritik, dan memfitnah.
“Kalau dia menuduh pemerintah melakukan sesuatu padahal tidak itu masuk memfitnah. Tapi, kalau dia mengkritik kebijakan pemerintah yang dianggap menyengsarakan masyarakat, ya jangan dipidana,” kata Johan Budi.
Diketahui, Wamenkumham Eddy Hiariej mengungkapkan terdapat perubahan dalam Pasal 240 RKUHP versi 9 November 2022 dengan yang terbaru.
Perubahan yang nampak signifikan adalah penjelasan tentang siapa pihak yang disebut pemerintah.
Kemudian, penghinaan di muka umum pada pemerintah dapat terancam pidana penjara 1,5 tahun penjara.
Namun, aturan itu merupakan delik aduan. Artinya, pihak yang menghina bisa dikenai pidana ketika dilaporkan oleh pihak yang dihina atau diwakili oleh kepala lembaga, bukan pihak lain.
https://nasional.kompas.com/read/2022/11/24/19153931/minta-frasa-penghinaan-pemerintah-di-rkuhp-dibatasi-johan-budi-agar-tak