Salin Artikel

Elektabilitas Semu dalam Politik Pencitraan

Drama seorang tokoh menangis di depan kamera, hingga bersimpuh secara akrobatik nyatanya masih memiliki nilai jual tinggi sehingga dapat mendongkrak kecenderungan terpilihnya dalam gelaran elektoral.

Tim sukses yang mestinya mengkampanyekan kehebatan dan prestasi tokoh bersangkutan akhirnya berubah menjadi kru pementasan, lengkap dengan sutradara, penulis skenario, kameramen dan buzzer untuk merebut ruang dan rating di media sosial (medsos).

Elektabilitas menjadi hantu demokrasi. Partai-partai politik “dipaksa” menerima calon yang memiliki elektabilitas tinggi, dengan melumpuhkan sistem yang telah dibangun.

Bahkan jika perlu memecat kader-kader setia yang menolak kehadiran tokoh dengan elektabilitas tinggi sekalipun dia tidak pernah berkeringat untuk partai.

Elektabilitas seolah menulikan kewarasan dalam melihat latar-belakang, ideologi politik, prestasi dan visi-misi yang diemban tokoh tersebut.

Namun semata menyalahkan tim sukses yang melahirkan tokoh-tokoh politik artifisial tentu tidak fair juga.

Sebab lembaga survei, LSM, dan media massa memiliki andil dalam menyuburkan praktik demikian.

Lembaga survei turut “dipersalahkan” karena seringnya hasil survei berbeda dengan real count.

Dalih rentang waktu antara survei dengan hari pencoblosan, dapat diperdebatkan karena masih kuatnya fanatisme pemilih di Indonesia pada sosok, bukan program.

Di negara-negara maju yang demokrasinya sudah mapan, sangat mungkin terjadi perubahan pilihan secara siginifikan di last minute hanya karena isu “kecil”.

Hal ini tidak akan terjadi di negara-negara yang didominasi pemilih fanatik. Masyarakat cenderung sudah memantapkan pilihan pada tokoh tertentu jauh sebelum hari pencoblosan, bahkan sebelum ada penetapan pasangan calon oleh partai dan komisi pemilihan.

Keriuhan dukung-mendukung yang tampak di medsos dengan jelas menggambarkan kondisinya.

Pemilih tipe ini tidak peduli pada minimnya prestasi jagoannya. Ia akan terus menyanjungnya sambil berusaha “membunuh” lawan-lawan politiknya.

Pejah gesang nderek panjenengan bukan slogan kosong dalam kazanah politik Indonesia yang menunjukkan bahwa pemilih masih mendasarkan pada sosok tertentu tanpa melihat sisi lain.

Dalih floating mass yang disebut menjadi pembeda antara hasil survei dengan real count juga perlu diuji kesahihannya.

Sebab jika benar massa mengambang yang belum menentukan pilihan sebelum pencoblosan sangat besar sehingga “mempermalu” hasil survei-survei sebelumnya, hal itu justru menunjukan kekurangakuratan lembaga survei dalam memetakan sebaran responden.

Terlebih, massa mengambang memiliki kecenderungan terbawa oleh drama yang diciptakan tim sukses dan hasil survei dengan menjatuhkan pilihan pada tokoh yang memiliki kans menang.

Dengan kemungkinan demikian, mestinya floating mass menjadi penguat hasil survei, bukan sebaliknya.

Perlu didiskusikan lebih jauh apakah benar “kesalahan” itu semata akibat kurang tepatnya penerapan metodologi, semisal pada sebaran responden dan jenis pertanyaan atau ada unsur subjektif.

Sebab sudah berulang kali terjadi, sejak pertama diterapkan model pemilihan umum secara langsung di Indonesia, tokoh yang dimenangkan oleh survei, jeblok saat real count.

Ada juga partai yang selalu menduduki dasar “klasemen” dalam survei, malah mendapat lonjakan suara dibanding pemilu sebelumnya.

Artinya lembaga-lembaga survei yang sering “salah” itu, turut andil dalam menghambat lahirnya tokoh yang memahami persoalan dan memiliki solusi serta keberanian memperjuangkan cita-cita kemerdekaan, namun tidak “familiar” di mata lembaga survei.

Mengapa demikian? Sebab calon pemimpin, kecuali di level daerah yang memberi ruang adanya calon perseorangan, hanya bisa diusung oleh partai politik atau gabungan partai politik yang memenuhi batasan tertentu (electoral threshold).

Di sini kunci persoalannya. Mayoritas partai politik masih sangat pragmatis dalam mendukung dan mengusung kandidat dengan antara lain mengikuti nama-nama yang diglorifikasi lembaga survei dan media-media partisan.

Lemahnya institusi partai dalam melahirkan calon pemimpin dapat dicermati dalam isu-isu politik kekinian di mana nama-nama yang dijodohkan dengan partai atau koalisi partai tertentu tidak jauh dari nama-nama yang menguasai hasil survei.

Bahkan Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto sudah mengkritisi munculnya wacana bajak-membajak tokoh dengan elektabilitas tinggi versi lembaga survei.

Jika terus dibiarkan, sangat mungkin pemimpin mendatang dihasilkan dari hasil polesan tim sukses, lembaga survei, buzzer dan partai politik yang tidak memiliki kemampuan dalam melahirkan kader-kader mumpuni.

Sungguh sangat disayangkan jika hal itu sampai terjadi.

Biaya pemilu puluhan triliun rupiah dihabiskan hanya untuk menghasilkan pemimpin yang tidak kredible, tidak memiliki rekam jejak prestasi sehingga tidak dapat digunakan untuk mengukur program kerjanya setelah duduk di Istana.

Media, lembaga survei, penggiat demokrasi, seniman, sastrawan, aktivis sosial, hingga mahasiswa berperan penting dalam upaya menyudahi rantai kepemimpinan yang dihasilkan dari pencitraan.

Sungguh ironi jika seruan penguatan dan peningkatan kualitas demokrasi, ternyata permisif bahkan mendukung calon pemimpin tanpa prestasi.

Saatnya kita dorong positive campaign dengan membeber prestasi tiap-tiap tokoh yang memiliki potensi menjadi pemimpin di masa mendatang agar masyarakat yang masih fanatik pada figur, memiliki keseimbangan alasan, second opinion, dalam menentukan pilihan.

Butuh proses untuk sampai pada demokrasi yang berkualitas. Tanpa keberanian untuk keluar dari politik pencitraan, prosesnya akan semakin lama.

https://nasional.kompas.com/read/2022/06/16/05450051/elektabilitas-semu-dalam-politik-pencitraan

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke