Salin Artikel

Poin-poin Penting UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual yang Baru Diteken Jokowi

JAKARTA, KOMPAS.com - Undang-Undang (UU) tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) resmi diundangkan dalam lembaran negara.

Presiden Joko Widodo menandatangani UU Nomor 12 Tahun 2022 itu pada 9 Mei 2022. Beleid tersebut mulai berlaku pada saat diundangkan.

Sebelumnya, rancangan undang-undang (RUU) TPKS disahkan menjadi UU melalui rapat paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI pada Selasa (12/4/2022).

Pengundangan UU TPKS merupakan perjalanan panjang sejak 2012, ketika Komnas Perempuan pertama kali menggagas aturan tersebut. Resminya UU ini dinantikan publik selama 10 tahun.

Kehadiran UU TPKS pun menjadi harapan besar dalam penuntasan kasus kekerasan seksual, khususnya untuk melindungi perempuan dan anak di Indonesia.

Merujuk dokumen UU yang diunggah di lama resmi Sekretariat Negara, terdapat 93 pasal dalam UU TPKS.

UU itu memuat poin penting terkait tindak kekerasan seksual, mulai dari jenis tindak pidana, hukuman bagi pelaku, hingga perlindungan bagi korban. Berikut poin-poin penting yang diatur dalam UU TPKS yang baru diundangkan Jokowi.

9 jenis kekerasan seksual

Merujuk Pasal 4 Ayat (1) UU TPKS, terdapat 9 jenis tindak pidana kekerasan seksual, meliputi:

  • pelecehan seksual nonfisik;
  • pelecehan seksual fisik;
  • pemaksaan kontrasepsi;
  • pemaksaan sterilisasi;
  • pemaksaan perkawinan;
  • penyiksaan seksual;
  • eksploitasi seksual;
  • perbudakan seksual; dan
  • kekerasan seksual berbasis elektronik.

Hukuman pidana

Setiap jenis tindak pidana kekerasan seksual telah diatur rincian hukuman pidananya, termasuk sanksi denda terhadap pelaku. Rinciannya yakni:

1. Pelecehan seksual nonfisik
Merujuk penjelasan UU TPKS, yang dimaksud dengan perbuatan seksual nonfisik adalah pernyataan, gerak tubuh, atau aktivitas yang tidak patut dan mengarah kepada seksualitas dengan tujuan merendahkan atau mempermalukan.

Pasal 5 UU TPKS mengatur bahwa pelaku perbuatan seksual nonfisik dapat dipidana hingga 9 bulan penjara dan denda maksimal Rp 10 juta.

2. Pelecehan seksual fisik
Menurut Pasal 6 UU, pelaku pelecehan seksual fisik dapat dipidana hingga 12 tahun penjara dan denda paling banyak Rp 300 juta.

"Setiap orang yang melakukan perbuatan seksual secara fisik yang ditujukan terhadap tubuh, keinginan seksual, dan/atau organ reproduksi dengan maksud merendahkan harkat dan martabat seseorang berdasarkan seksualitas dan/atau kesusilaannya yang tidak termasuk dalam ketentuan pidana lain yang lebih berat dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah)," bunyi Pasal 6 huruf a UU TPKS.

"Setiap orang yang melakukan perbuatan seksual secara fisik yang ditujukan terhadap tubuh, keinginan seksual, dan/atau organ reproduksi dengan maksud menempatkan seseorang di bawah kekuasaannya secara melawan hukum, baik di dalam maupun di luar perkawinan dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah)," lanjutan Pasal 6 huruf b.

3. Pemaksaan kontrasepsi
Seseorang yang memaksa orang lain menggunakan alat kontrasepsi juga bisa dijerat pidana kekerasan seksual.

Merujuk Pasal 8 UU TPKS, seseorang yang memaksa orang lain menggunakan alat kontrasepsi hingga menyebabkan orang tersebut kehilangan fungsi reproduksinya sementara waktu dapat dikenai pidana penjara maksimal 5 tahun dan denda Rp 50 juta.

4. Pemaksaan sterilisasi
Tak hanya itu, seseorang yang memaksa orang lain untuk menggunakan alat kontrasepsi hingga menyebabkan fungsi reproduksi orang tersebut hilang permanen atau dengan kata lain memaksa sterilisasi juga bisa dinyatakan melakukan tindak pidana kekerasan seksual.

Menurut Pasal 9 UU TPKS, hukuman pelaku kekerasan seksual ini yakni penjara maksimal 9 tahun dan denda paling banyak Rp 200 juta.

5. Pemaksaan perkawinan
Pasal (10) UU TPKS menyebutkan bahwa pelaku perkawinan paksa bisa dipidana penjara paling lama 9 tahun dan denda maksimal Rp 200 juta.

Perkawinan paksa yang dimaksud termasuk perkawinan anak, pemaksaan perkawinan dengan mengatasnamakan praktik budaya, dan pemaksaan perkawinan korban dengan pelaku perkosaan.

6. Penyiksaan seksual
Pasal 11 UU TPKS mengatur bahwa pelaku penyiksaan seksual dapat dipidana penjara paling lama 12 tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 300 juta.

Pelaku penyiksaan seksual sendiri didefinisikan sebagai pejabat atau orang yang bertindak dalam kapasitas sebagai pejabat resmi, atau orang yang bertindak karena digerakkan atau sepengetahuan pejabat melakukan kekerasan seksual terhadap orang dengan tujuan:

  • intimidasi untuk memperoleh informasi atau pengakuan dari orang tersebut atau pihak ketiga;
  • persekusi atau memberikan hukuman terhadap perbuatan yang telah dicurigai atau dilakukannya; dan/atau
  • mempermalukan atau merendahkan martabat atas alasan diskriminasi dan/atau seksual dalam segala bentuknya.

7. Eksploitasi seksual
Pelaku eksploitasi seksual dapat dipidana penjara paling lama 15 tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 1 miliar.

Mengacu Pasal 12 UU TPKS, pelaku eksploitasi seksual ialah setiap orang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan atau dengan menyalahgunakan kedudukan, wewenang, kepercayaan, perbawa yang timbul dari tipu muslihat atau hubungan keadaan, kerentanan,
ketidaksetaraan, ketidakberdayaan, ketergantungan seseorang, penjeratan hutang atau memberi bayaran atau manfaat dengan maksud untuk mendapatkan keuntungan, atau memanfaatkan organ tubuh seksual atau organ tubuh lain dari orang itu yang ditujukan terhadap keinginan seksual dengannya atau dengan orang lain.

8. Perbudakan seksual
Perbuatan perbudakan seksual diancam pidana penjara paling lama 15 tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 1 miliar.

Mengacu Pasal 13 UU TPKS, pelaku perbudakan seksual ialah setiap orang yang secara melawan hukum menempatkan seseorang di bawah kekuasaannya atau orang lain dan menjadikannya tidak berdaya dengan maksud mengeksploitasinya secara seksual.

9. Kekerasan seksual berbasis elektronik
Dijelaskan dalam UU TPKS bahwa kekerasan seksual berbasis elektronik dapat dijerat pidana. Kekerasan seksual berbasis elektronik setidaknya dibagi menjadi 3 jenis, yakni:

Menurut Pasal 14 UU TPKS, pelaku kekerasan seksual ini dapat dipidana penjara maksimal 4 tahun dan denda paling banyak Rp 200 juta.

Selanjutnya, pada Pasal 14 Ayat (2) dijelaskan, apabila tindak kekerasan seksual berbasis elektronik itu dilakukan untuk melakukan pemerasan atau pengancaman dan memaksa
atau menyesatkan dan/atau memperdaya, pelaku dapat dipidana penjara paling lama 6 tahun dan/atau denda paling banyak Rp 300 juta.

Tindak pidana kekerasan lainnya

Selain 9 jenis tindak pidana kekerasan seksual di atas, UU TPKS menjelaskan, setidaknya terdapat 10 jenis kekerasan seksual lainnya yang dapat dijerat pidana.

Sepuluh jenis kekerasan itu diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) atau peraturan perundang-undangan lainnya, yakni:

  • perkosaan;
  • perbuatan cabul;
  • persetubuhan terhadap anak, perbuatan cabul terhadap anak, dan/atau eksploitasi seksual terhadap anak;
  • perbuatan melanggar kesusilaan yang bertentangan dengan kehendak korban;
  • pornografi yang melibatkan anak atau pornografi yang secara eksplisit memuat kekerasan dan eksploitasi seksual;
  • pemaksaan pelacuran;
  • tindak pidana perdagangan orang yang ditujukan untuk eksploitasi seksual;
  • kekerasan seksual dalam lingkup rumah tangga;
  • tindak pidana pencucian uang yang tindak pidana asalnya merupakan tindak pidana kekerasan seksual; dan
  • tindak pidana lain yang dinyatakan secara tegas sebagai tindak pidana kekerasan seksual sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.

Tak hanya pidana dan denda

Merujuk Pasal 16 UU, dijelaskan bahwa selain pidana penjara dan pidana denda, pelaku tindak pidana kekeradan seksual dapat dijatuhi pidana tambahan berupa:

  • Pencabutan hak asuh anak atau pengampunan;
  • Pengumuman identitas pelaku;
  • Perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana; dan/atau
  • Pembayaran restitusi;

Pidana dan denda korporasi

Selanjutnya, pada Pasal 18 dijelaskan, pihak korporasi yang melakukan TPKS dapat dikenai denda sekitar Rp 200 juta sampai Rp 2 miliar.

Selain itu, korporasi dapat dijatuhi pidana tambahan berupa:

Keterangan saksi/korban dan 1 alat bukti sudah cukup menentukan terdakwa

Pada Pasal 25 disebutkan bahwa keterangan saksi dan/atau korban tindak pidana kekerasan seksual cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah jika disertai 1 alat bukti sah. 

Alat bukti yang sah dalam pembuktian TPKS yakni:

  • Alat bukti sebagaimana diatur dalam hukum acara pidana;
  • Alat bukti lain berupa informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan;
  • Barang bukti yang berhubungan dengan tindak pidana;
  • Keterangan saksi;
  • Surat (surat keterangan psikolog/psikiater/dokter, rekam medis, hasil pemeriksaan forensik, hasil pemeriksaan rekening bank).

Restitusi bagi korban

Menurut UU TPKS, korban tindak pidana kekerasan seksual berhak mendapat restitusi. Restitusi adalah pembayaran ganti kerugian yang dibebankan kepada pelaku atau pihak ketiga berdasarkan penetapan atau putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, atas kerugian materiel dan/atau imateriel yang diderita korban atau ahli warisnya.

Restitusi dapat diberikan dalam 4 bentuk, yakni:

  • ganti kerugian atas kehilangan kekayaan atau penghasilan;
  • ganti kerugian yang ditimbulkan akibat penderitaan yang berkaitan langsung sebagai akibat tindak pidana kekerasan seksual;
  • penggantian biaya perawatan medis dan/atau psikologis; dan/atau
  • ganti kerugian atas kerugian lain yang diderita korban sebagai akibat tindak pidana kekerasan seksual.

Restitusi diberikan paling lambat 30 hari terhitung sejak salinan putusan atau penetapan pengadilan diterima.

Hak-hak korban

UU TPKS juga mengatur hak-hak korban tindak pidana kekerasan seksual. Bahwa korban berhak atas penanganan, pelindungan, dan pemulihan sejak terjadinya tindak pidana kekerasan seksual.

"Pemenuhan hak korban merupakan kewajiban negara dan dilaksanakan sesuai dengan kondisi dan kebutuhan korban," bunyi Pasal 67 Ayat (2) UU TPKS.

Menurut Pasal 68 UU TPKS, hak korban atas penanganan dijabarkan menjadi 7 bentuk, yakni:
hak atas informasi terhadap seluruh proses dan hasil penanganan, pelindungan, dan pemulihan;

  • hak mendapatkan dokumen hasil penanganan;
  • hak atas layanan hukum;
  • hak atas penguatan psikologis;
  • hak atas pelayanan kesehatan meliputi pemeriksaan, tindakan, dan perawatan medis;
  • hak atas layanan dan fasilitas sesuai dengan kebutuhan khusus korban; dan
  • hak atas penghapusan konten bermuatan seksual untuk kasus kekerasan seksual dengan media elektronik.

Kemudian, merujuk Pasal 69, hak korban atas pelindungan mencakup 7 hal, yaitu:

  • penyediaan informasi mengenai hak dan fasilitas pelindungan;
  • penyediaan akses terhadap informasi penyelenggaraan pelindungan;
  • pelindungan dari ancaman atau kekerasan pelaku dan pihak lain serta berulangnya kekerasan;
  • pelindungan atas kerahasiaan identitas;
  • pelindungan dari sikap dan perilaku aparat penegak hukum yang merendahkan korban;
  • pelindungan dari kehilangan pekerjaan, mutasi pekerjaan, pendidikan, atau akses politik; dan
  • pelindungan korban dan/atau pelapor dari tuntutan pidana atau gugatan perdata atas tindak pidana kekerasan seksual yang telah dilaporkan.

Sementara, hak korban atas pemulihan dijabarkan dalam Pasal 70 Ayat (1), meliputi:

  • rehabilitasi medis;
  • rehabilitasi mental dan sosial;
  • pemberdayaan sosial;
  • restitusi dan/atau kompensasi; dan
  • reintegrasi sosial.

https://nasional.kompas.com/read/2022/05/11/19184771/poin-poin-penting-uu-tindak-pidana-kekerasan-seksual-yang-baru-diteken

Terkini Lainnya

Shalat Jumat di Masjid Baiturrahman Aceh, Anies Diteriaki 'Presiden 2029'

Shalat Jumat di Masjid Baiturrahman Aceh, Anies Diteriaki "Presiden 2029"

Nasional
Polri Siapkan Posko Pemantauan dan Pengamanan Jalur untuk World Water Forum di Bali

Polri Siapkan Posko Pemantauan dan Pengamanan Jalur untuk World Water Forum di Bali

Nasional
Menkumham Bahas Masalah Kesehatan Napi dengan Presiden WAML

Menkumham Bahas Masalah Kesehatan Napi dengan Presiden WAML

Nasional
Sidang Sengketa Pileg, PAN Minta PSU di 7 TPS Minahasa

Sidang Sengketa Pileg, PAN Minta PSU di 7 TPS Minahasa

Nasional
AHY Ungkap Koalisi Prabowo Sudah Bahas Pembagian Jatah Menteri

AHY Ungkap Koalisi Prabowo Sudah Bahas Pembagian Jatah Menteri

Nasional
Jokowi Minta Relokasi Ribuan Pengungsi Terdampak Erupsi Gunung Ruang Dipercepat

Jokowi Minta Relokasi Ribuan Pengungsi Terdampak Erupsi Gunung Ruang Dipercepat

Nasional
Caleg Tidak Siap Ikuti Sidang Daring, Hakim MK: Suara Putus-putus, Jadi Lapar...

Caleg Tidak Siap Ikuti Sidang Daring, Hakim MK: Suara Putus-putus, Jadi Lapar...

Nasional
Anies-Muhaimin Kunjungi Aceh Usai Pilpres, Ingin Ucapkan Terima Kasih ke Warga

Anies-Muhaimin Kunjungi Aceh Usai Pilpres, Ingin Ucapkan Terima Kasih ke Warga

Nasional
Bareskrim Polri Yakin Penetapan Panji Gumilang sebagai Tersangka TPPU Sah Menurut Hukum

Bareskrim Polri Yakin Penetapan Panji Gumilang sebagai Tersangka TPPU Sah Menurut Hukum

Nasional
Polisi Lengkapi Kekurangan Berkas Perkara TPPU Panji Gumilang

Polisi Lengkapi Kekurangan Berkas Perkara TPPU Panji Gumilang

Nasional
Jokowi Kumpulkan Menteri Bahas Pengungsi Terdampak Erupsi Gunung Ruang

Jokowi Kumpulkan Menteri Bahas Pengungsi Terdampak Erupsi Gunung Ruang

Nasional
Bersama TNI AL, Polisi, dan Basarnas, Bea Cukai Bantu Evakuasi Korban Erupsi Gunung Ruang

Bersama TNI AL, Polisi, dan Basarnas, Bea Cukai Bantu Evakuasi Korban Erupsi Gunung Ruang

Nasional
Prabowo Ingin Berkumpul Rutin Bersama Para Mantan Presiden, Bahas Masalah Bangsa

Prabowo Ingin Berkumpul Rutin Bersama Para Mantan Presiden, Bahas Masalah Bangsa

Nasional
Hanura Sebut Suaranya di Manokwari Dipindah ke PSI, Berdampak ke Perolehan Kursi DPRD

Hanura Sebut Suaranya di Manokwari Dipindah ke PSI, Berdampak ke Perolehan Kursi DPRD

Nasional
Gugat Hasil Pileg, Pengacara Gerindra Malah Keliru Minta MK Batalkan Permohonan

Gugat Hasil Pileg, Pengacara Gerindra Malah Keliru Minta MK Batalkan Permohonan

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke