Warasman menjelaskan, berdasarkan aturan, tidak ada kewajiban polisi memborgol para anggota laskar tersebut.
Sebab, mereka bukan merupakan tahanan dan tidak berstatus tersangka. Selain itu, saat melakukan pengejaran, petugas sedang dalam operasi penyelidikan.
"Selain tersangka tidak ada keharusan harus diborgol, karena tidak saya temukan ketentuan itu," kata Warasman saat menjadi saksi ahli meringankan dalam perkara dugaan pembunuhan di luar proses hukum atau unlawful killing terhadap empat anggota laskar FPI di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Selasa (18/1/2022).
Dia mengatakan, petugas polisi bisa saja membawa orang yang ditangkap ke markas komando tanpa harus memborgolnya atau meminta bantuan dari kepolisian lainnya.
Hal ini berbeda saat petugas membawa tahanan, maka harus diborgol karena telah berdasarkan proses dan ada barang bukti yang cukup.
"Karena sudah diperkenalkan kami adalah anggota Polri, tidak perlu lagi dia sebagai anggota Polri meminta bantuan ke polsek atau polres, langsung saja di dibawa ke markasnya, dan itu tanpa di borgol tidak masalah. Karena kalau sudah dimasukkan ke mobil polisi sebenarnya yang dibawanya itu sudah aman. Namanya juga sudah jelas ada polisi yang menangkap kemdian dibawa ke kendaraan," ujarnya.
Dalam persidangan, Warasman juga mengungkapkan, dalam situasi mendesak, ada semacam doktrin yang berlaku internasional bahwa lebih baik "penjahat" meninggal dunia daripada petugas polisi.
"Saya sebutkan tadi dalam doktrin internasional daripada petugas mati, lebih bagus 'penjahat' mati," katanya.
Menurut Warasman, peristiwa penembakan di KM 50 Tol Jakarta-Cikampek itu terjadi begitu cepat.
Anggota laskar FPI yang ada di dalam mobil berupaya merebut senjata dari polisi. Karena itu, menurut dia, petugas polisi bisa melakukan tindakan lebih dari sekadar melumpuhkan.
"Kalau misalnya masih ada tenggang waktu, tidak tiba-tiba, tidak sekonyong-konyong, maka itu bisa saja dilumpuhkan. Tapi kalau pelatuk itu sudah di tangan yang merebut, nah itu tidak ada yang keliru," ujar dia.
Warasman menjelaskan, tindakan melumpuhkan bisa dilakukan petugas polisi ketika eskalasi situasi di lapangan terukur. Misalnya, dalam aksi unjuk rasa.
Warasman pun menjelaskan, ketentuan soal penggunaan senjata api bagi petugas polisi diatur Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2009.
Dalam peraturan itu, disebutkan bahwa senjata api hanya boleh digunakan jika benar-benar dibutuhkan untuk melindungi nyawa manusia.
Petugas boleh menggunakan senjata api, antara lain, dalam menghadapi keadaan luar biasa, membela diri dari ancaman kematian atau luka berat, dan mencegah terjadinya kejahatan berat atau yang mengancam jiwa orang.
Menurut Warasman, apa yang terjadi di dalam mobil di KM 50 Tol Jakarta-Cikampek termasuk keadaan luar biasa.
"Kenapa disebut luar biasa, karena petugas di sini sudah sangat ekstrem, sudah sangat membahayakan. Skala merah 'kalau saya tidak bertindak dengan tegas, maka saya akan mati atau temanku yang mati atau orang lain'," ujar dia.
Adapun terdakwa dalam perkara ini, yakni Ipda Yusmin Ohorella dan Briptu Fikri Ramadhan.
Peristiwa penembakan terhadap empat laskar FPI terjadi di KM 50 Tol Jakarta-Cikampek pada 7 Desember 2020.
Jaksa penuntut umum mendakwa Yusmin dan Fikri telah melakukan tindak pidana yang diatur dan diancam dalam Pasal 338 KUHP jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP subsidair Pasal 351 Ayat (3) KUHP jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.
Pasal 338 KUHP merupakan pasal tentang pembunuhan, sementara itu Pasal 351 KUHP tentang penganiayaan yang menyebabkan kematian.
https://nasional.kompas.com/read/2022/01/18/23203371/sidang-unlawful-killing-saksi-ahli-tak-wajib-polisi-borgol-anggota-laskar