Jakarta, KOMPAS.com - Keuangan PT Garuda Indonesia (Persero) diketahui sedang mengalami krisis akibat dampak pandemi Covid-19.
Maskapai pelat merah itu diketahui memiliki utang mencapai Rp 70 triliun dan diperkirakan terus bertambah Rp 1 triliun setiap bulannya.
Berdasarkan data Kementerian BUMN, beban biaya Garuda Indonesia mencapai 150 juta dollar AS per bulan, namun pendapatan yang dimiliki hanya 50 juta dollar AS.
Itu artinya perusahaan merugi 100 juta dollar AS atau sekitar 1,43 triliun (kurs Rp 14.300 per dollar AS) setiap bulannya.
Dalam rapat dengan Komisi VI DPR RI, Kamis (3/6/2021), Menteri BUMN Erick Thohir dan Wakil Menteri (Wamen) BUMN Kartika Wirjoatmodjo mengungkapkan sejumlah faktor yang menjadi penyebab masalah keuangan Garuda Indonesia saat ini.
1. Persoalan dengan lessor
Selain memang terdampak pandemi Covid-19 yang membuat rendahnya penerbangan penumpang, persoalan lainnya adalah terkait penyewa pesawat atau lessor.
Saat ini Garuda Indonesia bekerja sama dengan 36 lessor, yang sebagian di antaranya terlibat kasus korupsi dengan manajemen lama.
2. Terlalu banyak jenis pesawat
Selain harga sewa yang kemahalan, persoalan Garuda Indonesia juga ada pada penggunaan jenis pesawat yang terlalu banyak.
Kartika menyebutkan, penggunaannya mulai dari Boeing 737-777, A320, A330, ATR, hingga Bombardier sehingga sulit untuk melakukan efisiensi.
"Memang jenis pesawat juga terlalu banyak, sehingga efisiensi menjadi bermasalah," kata pria yang akrab disapa Tiko itu.
3. Kesalahan model bisnis
Menurut Erick, beban berat yang juga dihadapi Garuda Indonesia adalah model bisnis yang kurang tepat. Ia menilai, seharusnya maskapai itu mengubah dengan fokus pada pasar penerbangan domestik.
Hal ini didasari pada data kepariwisataan nasional. Sebanyak 78 persen merupakan perjalanan yang dilakukan turis domestik, sedangkan 22 persen lainnya adalah turis asing.
Sehingga salah satu akses untuk melakukan perjalanan antarpulau yaitu dengan penerbangan. Potensi ini yang seharusnya dimanfaatkan Garuda Indonesia.
Erick mengatakan, pihaknya telah bicara dengan Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi untuk memberikan dukungan jika nantinya tidak semua bandara terbuka bagi maskapai asing.
Terlebih di masa pandemi Covid-19 saat ini, yang tak memungkinkan penerbangan dari luar negeri bisa bebas masuk ke semua bandara. Menurut dia, kondisi ini jadi kesempatan Garuda Indonesia untuk memperbaiki kinerja.
"Jadi beberapa titik bandara di buka (bagi pesawat asing), tapi untuk ke rute domestik lainnya hanya boleh Garuda atau penerbangan swasta domestik lainnya," ujar Erick.
Sementara itu, Tiko menambahkan, sejumlah rute penerbangan Garuda Indonesia memang tak menguntungkan, terutama untuk rute penerbangan internasional.
"Rute-rutenya banyak diterbangi yang tidak profitable. Penerbangan ke dalam negeri sebelum Covid-19, itu pada tahun 2019 untung tapi yang luar negeri malah rugi," ucap dia.
Krisis keuangan turut berdampak pada seluruh manajemen Garuda Indonesia, di antaranya:
Pensiun dini
Manajemen Garuda Indonesia menawarkan program pensiun dini kepada para karyawannya. Perusahaan penerbangan pelat merah ini menyebut keputusan diambil untuk kembali menyehatkan perusahaan.
Hal itu untuk menjadikan Garuda Indonesia sebagai perusahaan yang lebih sehat dan adaptif menjawab tantangan kinerja usaha di era kenormalan baru.
“Perlu kiranya kami sampaikan program pensiun dipercepat ini ditawarkan secara sukarela terhadap karyawan yang telah memenuhi kriteria,” kata Direktur Utama Garuda Indonesia Irfan Setiaputra.
Pangkas jumlah komisaris
Erick Thohir berencana akan memangkas jumlah komisaris PT Garuda Indonesia Tbk sebagai salah satu langkah efisiensi. Hal ini menindaklanjuti usul Anggota Dewan Komisaris Garuda Indonesia Peter Gontha.
Dalam surat kepada Direktur Keuangan Garuda Indonesia Prasetio bertanggal 2 Juni 2021, Peter minta memberhentikan pembayaran gaji dewan komisaris sampai rapat pemegang saham mendatang.
"Saya rasa yang diusulkan Pak Peter sangat bagus, bahkan saya ingin usulkan, kalau bisa komisaris Garuda Indonesia 2 atau 3 saja," ujar Erick.
Erick mengatakan, ketika perusahaan berusaha untuk melakukan efisiensi dengan menawarkan pensiun dini kepada karyawan, maka langkah efisiensi perlu juga dilakukan di jajaran atas, seperti komisaris.
"Jangan yang tadi misalnya ada pensiun dini tapi komisarisnya enggak dikurangin. Nah nanti kita akan kurangi, kecilin jumlahnya, itu bagian dari efisiensi, jadi benar-benar mencerminkan (upaya dari) komisaris dan direksi Garuda," jelas dia.
Kembalikan dua pesawat
PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk melakukan percepatan pengembalian lebih awal armada yang belum jatuh tempo masa sewanya. Hal ini sebagai upaya intensif pemulihan kinerja keuangan perseroan yang tengah terpuruk.
Irfan Setiaputra mengatakan langkah strategis itu ditandai dengan pengembalian dua armada B737-800 NG kepada salah satu lessor atau perusahaan penyewa pesawat.
Menurut dia, percepatan pengembalian itu dilakukan setelah adanya kesepakatan bersama antara Garuda Indonesia dan pihak lessor pesawat, di mana salah satu syarat pengembalian pesawat adalah dengan melakukan perubahan kode registrasi pesawat terkait.
"Percepatan pengembalian armada yang belum jatuh tempo masa sewanya, merupakan bagian dari langkah strategis Garuda Indonesia dalam mengoptimalisasikan produktivitas armada dengan mempercepat jangka waktu sewa pesawat," ujar Irfan.
https://nasional.kompas.com/read/2021/06/10/09552741/masalah-bersengkarut-yang-membuat-garuda-indonesia-merugi