Berdasarkan keterangan peneliti ICW Wana Alamsyah, pihaknya menduga bahwa Firli mendapatkan gratifikasi berupa diskon harga sewa helikopter tersebut.
Wana mengatakan, Firli diduga memberikan keterangan yang berbeda saat menjalani sidang etik yang diselenggarakan Dewan Pengawas (Dewas) KPK.
Saat itu, Firli mengaku sewa helikopter hanya Rp 7 juta per jam. Sementara itu, berdasarkan data ICW, harga sewa helikopter itu adalah Rp 39,1 juta per jam.
Firli yang menggunakan helikopter selama 4 jam mengaku hanya membayar Rp 30,8 juta.
Namun, data ICW menunjukan hal yang berbeda. Firli diduga harus membayar Rp 172,3 juta.
"Ketika kami selisihkan harga sewa barangnya, ada sekitar Rp 141 juta yang diduga merupakan dugaan penerimaan gratifikasi atau diskon yang diterima Firli," ucap Wana, Kamis (3/2/2021).
Lalu, seperti apa perjalanan kasus kode etik penggunaan helikopter yang terjadi pada Firli Bahuri kala itu?
Berawal dari laporan MAKI
Mencuatnya kasus pelanggaran kode etik yang dilakukan Firli berawal dari laporan Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) kepada Dewas KPK pada 24 Juni 2020 lalu.
Kala itu, Koordinator MAKI Boyamin Saiman melaporkan Firli karena menggunakan helikopter swasta dalam perjalanan pribadi dari Palembang ke Baturaja.
Firli dilaporkan karena penggunaan helikopter itu merupakan tindakan bergaya hidup mewah yang tidak semestinya ditunjukan oleh ketua lembaga antirasuah.
"Hal ini bertentangan dengan kode etik, pimpinan KPK dilarang bergaya hidup mewah," ucap Boyamin kala itu.
Dalam menyampaikan laporannya, Boyamin membawa bukti tiga buah foto kegiatan Firli, juga saat menaiki helikopter yang berkode PK-JTO.
Boyamin mengatakan, helikopter itu termasuk jenis helikopter mewah.
"Helikopter yang digunakan adalah jenis mewah (helimusim) karena pernah digunakan Tung Desem Waringin yang disebut sebagai Helimousine President Air," ucap Boyamin.
Diberi sanksi teguran
Dewas KPK lantas menyatakan Firli bersalah dalam sidang etik putusan yang dilakukan 24 September 2020 lalu karena telah menyewa dan menggunakan helikopter swasta untuk perjalanan pribadinya.
Ia dinyatakan terbukti melanggar Pasal 4 Ayat (1) huruf n dan Pasal 8 Ayat (1) huruf f Peraturan Dewan Pengawas KPK Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penegakan Kode Etik dan Pedoman Perilaku KPK.
"Menghukum terperiksa dengan sanksi ringan berupa teguran tertulis 2 yaitu agar terperiksa tidak mengulangi perbuatannya dan agar terperiksa sebagai Ketua KPK senantiasa menjaga sikap dan perilaku dengan mentaati larangan dan kewajiban yang diatur dalam Kode Etik dan Pedoman Perilaku KPK," ujar Ketua Dewas KPK Tumpak Panggabean.
Dewas KPK menilai Firli tidak melakukan kewajibannya untuk menyadari bahwa seluruh sikap dan tindakannya melekat dalam kapasitasnya sebagai insan KPK.
Anggota Dewas Albertina Ho saat itu menilai bahwa tindakan Firli dapat memicu ketidakpercayaan publik pada dirinya dan pimpinan KPK yang lain.
"Berpotensi menimbulkan runtuhnya kepercayaan atau distrust masyarakat terhadap terperiksa (Firli) dalam kedudukannya sebagai Ketua KPK dan setidak-tidaknya berpengaruh pula terhadap Pimpinan KPK seluruhnya," ujar Albertina dalam persidangan etik.
https://nasional.kompas.com/read/2021/06/04/13371911/mengingat-kembali-pelanggaran-kode-etik-firli-bahuri-ketika-sewa-helikopter