Ia menyebut, selain masih terjadinya penularan Covid-19, ada penyebab lain yaitu masalah verifikasi data yang terlambat masuk. Hal ini menyebabkan penumpukan data di beberapa daerah.
"Saya minta ke depannya tidak ada lagi toleransi terhadap delay atau keterlambatan data. Karena ini sangat krusial dalam pengambilan keputusan," kata Wiku dalam keterangan tertulis di situs BNPB, Rabu (20/1/2021).
Menurut dia, karena data yang terlambat, kebijakan yang dikeluarkan juga tidak tepat waktu sehingga tidak efektif.
Untuk mengatasi hal tersebut, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) tengah memilah data pelaporan Covid-19 dari berbagai daerah.
Pemilahan tersebut dilakukan pada pelaporan data yang masuk pada rentang 11-17 Januari 2021 dengan pelaporan data yang telah terlambat masuk dari minggu-minggu sebelumnya.
Oleh karena itu, Wiku meminta Kemenkes dan Pemerintah Daerah terus memperbaiki integrasi data Covid-19.
"Sehingga dalam pelaporan data ke depannya dapat mengurangi gap atau kekosongan dan delay atau penundaan antara data pusat dan daerah," kata dia.
Di samping itu, kata dia, tren perkembangan kenaikan kasus minggu ini sebesar 27,5 persen dan menjadi yang tertinggi selama pandemi.
Bahkan, kata dia, peningkatan angka tren kenaikan ini sudah berlangsung selama 12 minggu berturut-turut.
Pada minggu ini juga tercatat penambahan kasus positif harian yang menembus angka 14.000 dalam satu hari.
"Positivity rate bulan Januari rata-rata di angka 25,98 persen," ujar dia.
Sementara itu, terdapat 5 provinsi teratas yang menyumbang kenaikan tertinggi dalam tren kenaikan kasus minggu ini yaitu Jawa Barat, DKI Jakarta, Jawa Tengah, Bali, dan Sulawesi Selatan.
Jakarta naik 4.346 dari 16.879 menjadi 21.423, Jawa Tengah naik 3.986 dari 7.203 menjadi 11.189, Bali naik 806 dari 1.254 menjadi 2.060, dan Sulawesi Selatan naik 792 dari 3.741 menjadi 4.523.
https://nasional.kompas.com/read/2021/01/20/11142781/satgas-covid-19-jangan-ada-lagi-delay-data-ini-penting-dalam-ambil-kebijakan