Hal ini disebabkan karena Pilkada tahun ini digelar di tengah pandemi Covid-19.
"Jadi ada problem popularitas untuk para penantang terhadap petahana, kecuali daerah itu petahananya sudah dua kali, tidak ada petahana, maka dia akan start-nya sama," kata Saan dalam sebuah diskusi daring, Selasa (10/11/2020).
Saan memahami banyak pihak yang berusaha semaksimal mungkin meyakinkan bahwa Pilkada di tengah pandemi tak akan memunculkan persoalan popularitas.
Sejumlah pihak mengatakan bahwa pandemi Covid-19 menjadi ujian kepemimpinan petahana.
Mereka yang mampu menangani Covid-19 akan mendapatkan reward dengan cara dipilih kembali oleh publik, sedangkan yang tak mampu tangani pandemi tidak dipilih lagi.
Namun, kata Saan, tak dapat dipungkiri bahwa Pilkada di tengah pandemi memunculkan ketidakseimbangan popularitas.
Ia menyebut, tidak mudah menaikkan popularitas di tengah situasi pandemi seperti sekarang ini.
Penantang punya ruang yang sangat terbatas untuk berkampanye dan bersosialisasi. Sementara, petahana sudah punya modal popularitas yang maksimal.
"Walaupun (penantang kampanye) menggunakan media sosial, tetapi pengguna media sosial itu kalau saya lihat misalnya tingkat presentasinya yang paling banyak kan tetep Facebook, itu pun tidak terlalu seperti yang digambarkan," ujar Saan.
"Facebook itu pun jangkauannya lemah, masih tidak terlalu kuat," tuturnya.
Dengan modal popularitas yang tidak seimbang, lanjut Saan, sulit untuk mencapai kemenangan.
Sebab, dalam sistem pemilu langsung, yang paling utama ialah dikenalnya kandidat oleh publik.
"Prinsipnya kan begini, dikenal, disuka, dipilih, dikenal belum tentu disuka, disuka belum tentu dipilih, tapi modal utamanya tetap dikenal dulu. Tapi kalau tingkat keterkenalan rendah maka yang sukanya pun rendah, kalau yang sukanya rendah maka yang pilihnya rendah," ujar dia.
Dengan adanya persoalan ini, kata Saan, banyak paslon yang akhirnya memilih untuk tetap kampanye secara tatap muka alih-alih sosialisasi daring.
Meskipun dalam situasi pandemi Covid-19, kampanye tatap muka tetap masif karena kampanye daring dianggap monoton, tidak enak dilihat, tidak ada gimmick, hingga tak mampu menyentuh emosi pemilih.
Oleh karenanya, lanjut Saan, untuk mendorong pelaksanaan kampanye daring, Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan pemerintah harus mampu memaksa pasangan calon kepala daerah.
Harus ada aturan yang memaksa pasangan calon kepala daerah, partai politik, tim kampanye dan masyarakat umum untuk menggunakan kampanye metode tersebut.
Kendati demikian, kata Saan, yang terpenting bagi pihaknya adalah kampanye berjalan aman dari Covid-19 dan tidak menimbulkan klaster baru virus corona.
Namun, ke depan, penting bagi pemerintah dan penyelenggara pemilu untuk memberikan ruang yang sama bagi petahana maupun penantang untuk menaikkan popularitas, sekalipun pemilihan digelar di situasi pandemi seperti sekarang ini.
"Penyelenggara dalam hal ini pemerintah dan sebagainya membuat ruang bagaimana agar ruang untuk menaikkan popularitas itu terjaga," kata dia.
Untuk diketahui, Pilkada Serentak 2020 digelar di 270 wilayah di Indonesia, meliputi 9 provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota.
Masa kampanye berlangsung selama 71 hari, dimulai sejak 26 September dan berakhir 5 Desember 2020.
Sementara, hari pemungutan suara Pilkada rencananya akan dilaksanakan secara serentak pada 9 Desember.
https://nasional.kompas.com/read/2020/11/10/18192761/pilkada-di-tengah-pandemi-dinilai-munculkan-problem-ketidakseimbangan