Salin Artikel

8 Poin UU Cipta Kerja yang Disorot Buruh, dari Sistem Kerja Kontrak hingga Alasan PHK

JAKARTA, KOMPAS.com - Presiden Joko Widodo telah menandatangani Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang terdiri atas 1.187 halaman.

Sejak disetujui oleh DPR dan pemerintah menjadi undang-undang dalam Rapat Paripurna Senin (5/10/2020), aturan sapu jagat ini mendapat kritik dari kelompok pekerja atau buruh dan akademisi.

Sebab, sejumlah ketentuan dalam klaster ketenagakerjaan dinilai akan memangkas dan menghilangkan hak buruh.

Federasi Buruh Lintas Pabrik (FBLP) mencatat delapan poin yang menunjukkan bahwa UU Cipta Kerja tidak berpihak pada kelompok pekerja.

"Setelah membaca undang-undang nir-partisipasi tersebut, kami menemukan setidaknya delapan bentuk serangan terhadap hak-hak buruh yang dilegitimasi secara hukum," ujar Ketua Umum FBLP Jumisih dalam keterangannya kepada Kompas.com, Selasa (6/10/2020).

Delapan poin itu tak mengalami perubahan sejak draf UU Cipta Kerja disetujui dalam Rapat Paripurna hingga diteken oleh Presiden Jokowi.

1. Masifnya sistem kerja kontrak

Pasal 81 angka 15 UU Cipta Kerja mengubah ketentuan Pasal 59 pada UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Pasal 81 angka 15 UU Cipta Kerja menyebut, pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama.

Penggunaan frasa "tidak terlalu lama" mengubah ketentuan soal batas waktu pekerjaan yang penyelesaiannya "tiga tahun" sebagai salah satu kriteria Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT).

Hal ini diyakini akan membuat pengusaha leluasa menafsirkan frasa "tidak terlalu lama" dan makin menipisnya kepastian kerja bagi buruh.

Demikian juga perpanjangan PKWT yang selanjutnya akan diatur Peraturan Pemerintah (PP).

Dengan skema perpanjangan melalui PP, maka aturan yang akan dibentuk berpotensi memperburuk jaminan kepastian kerja.

2. Praktik outsourcing kian meluas

UU Cipta Kerja tidak mengatur batasan kriteria pekerjaan yang dapat dipekerjakan secara alih daya atau outsourcing.

Berdasarkan UU Ketenagakerjaan, outsourcing hanya dapat dilakukan jika suatu pekerjaan terlepas dari kegiatan utama atau terlepas dari kegiatan produksi.

Sedangkan, UU Cipta Kerja tidak memberikan batasan demikian. Akibatnya, praktik outsourcing diprediksi makin meluas.

Selain itu, dalam UU Cipta Kerja juga hanya mengatur peralihan perlindungan pekerja pada perusahaan penyedia jasa atau vendor lain. Hal ini sebagaimana amanat Putusan Mahkamah Kontitusi (MK) Nomor 27/PUU-IX/2011.

Sementara, peralihan hubungan kerja dari vendor ke perusahaan pemberi kerja sebagaimana diatur UU Nomor 13 Tahun 2003 tidak tercantum dalam UU Cipta Kerja.

Alhasil, peluang agar hubungan kerja pekerja outsourcing beralih ke perusahaan pemberi kerja makin kecil.

3. Jam lembur semakin eksploitatif

Dalam UU Cipta Kerja, batasan maksimal jam lembur dari tiga jam dalam sehari dan 14 jam dalam sepekan, menjadi empat jam dalam sehari dan 18 jam dalam seminggu.

Selain akan berakibat pada kesehatan buruh, besaran upah lembur yang diterima juga tidak akan sebanding.

Mengingat, upah minimum yang menjadi dasar penghitungan upah lembur didasarkan pada mekanisme pasar berdasarkan PP Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan.

4. Berkurangnya hak istirahat dan cuti

Dalam UU Cipta Kerja, istirahat bagi pekerja hanya diperoleh sekali dalam sepekan.

Dengan demikian, pengusaha tidak mempunyai kewajiban untuk memberikan waktu istirahat selama dua hari kepada pekerja yang telah bekerja selama lima hari dalam sepekan.

Apalagi, dalam UU Cipta Kerja juga buruh dapat dikenakan wajib lembur.

Selain itu, UU Cipta Kerja juga menghilangkan hak cuti panjang selama dua bulan bagi buruh yang telah bekerja minimal selama enam tahun.

5. Terkikisnya peran gubernur

Pasal 88C UU Cipta Kerja mengatur bahwa gubernur "dapat" menetapkan upah minimum kabupaten/kota. Artinya, tidak ada kewajiban hukum bagi gubernur untuk menetapkan UMK.

Dengan demikian, kepastian adanya jaminan upah minimum yang selama ini dinarasikan sebagai "jaring pengaman sosial" terancam.

Ketentuan pengupahan yang termuat dalam PP Nomor 78 Tahun 2015 juga diadopsi oleh UU Cipta Kerja yang mengakibatkan makin kokohnya cengkeraman mekanisme pasar dalam penentuan upah.

6. Hilangnya peran negara

Dalam UU Ketenagakerjaan terdapat kewajiban pengusaha untuk meminta penetapan peran negara melalui lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial saat melakukan PHK kepada buruh.

Hal ini, kendati sering dilanggar, penting untuk memastikan terpenuhinya hak-hak buruh saat terjadi PHK. Namun, UU Cipta Kerja menghapuskan ketentuan tersebut.

7. Berkurangnya nilai pesangon

UU Cipta Kerja mengurangi skema pembayaran pesangon bagi pekerja yang mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) maksimal 32 kali gaji.

Berdasarkan aturan tersebut, pekerja yang terkena PHK kini hanya mendapat 25 kali upah dengan rincian 19 kali dibayar pengusaha dan 6 kali dibayar Jaminan Kehilangan Pekerjaan yang ditanggung BPJS Ketenagakerjaan.

8. Alasan PHK

Buruh rentan mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK), salah satunya ketika mengalami kecelakaan kerja.

Pasal 81 angka 42 UU Cipta Kerja menyisipkan Pasal 154A mengenai alasan pemutusan pemutusan hubungan kerja. Salah satu alasannya yakni pekerja/buruh mengalami sakit berkepanjangan atau cacat akibat kecelakaan kerja dan tidak dapat melakukan pekerjaannya setelah melampaui batas 12 bulan.

Sementara, pasal 172 UU Ketenagakerjaan menyatakan buruh berhak atas dua kali pesangon jika mengalami PHK karena sakit berkepanjangan melebihi 12 bulan.

Namun, ketentuan ini dihapus melalui UU Cipta Kerja.

https://nasional.kompas.com/read/2020/11/03/16492141/8-poin-uu-cipta-kerja-yang-disorot-buruh-dari-sistem-kerja-kontrak-hingga

Terkini Lainnya

297 Sengketa Pileg 2024, KPU Siapkan Bukti Hadapi Sidang di MK

297 Sengketa Pileg 2024, KPU Siapkan Bukti Hadapi Sidang di MK

Nasional
Meski Anggap Jokowi Bukan Lagi Kader, Ini Alasan PDI-P Tak Tarik Menterinya dari Kabinet

Meski Anggap Jokowi Bukan Lagi Kader, Ini Alasan PDI-P Tak Tarik Menterinya dari Kabinet

Nasional
Rancangan Peraturan KPU, Calon Kepala Daerah Daftar Pilkada 2024 Tak Perlu Lampirkan Tim Kampanye

Rancangan Peraturan KPU, Calon Kepala Daerah Daftar Pilkada 2024 Tak Perlu Lampirkan Tim Kampanye

Nasional
Nasdem dan PKB Dukung Prabowo-Gibran, PAN Sebut Jatah Kursi Menteri Parpol Koalisi Tak Terganggu

Nasdem dan PKB Dukung Prabowo-Gibran, PAN Sebut Jatah Kursi Menteri Parpol Koalisi Tak Terganggu

Nasional
Bilang Jokowi Sangat Nyaman, PAN Janjikan Jabatan Berpengaruh

Bilang Jokowi Sangat Nyaman, PAN Janjikan Jabatan Berpengaruh

Nasional
KPU Godok Aturan Baru Calon Kepala Daerah Pakai Ijazah Luar Negeri

KPU Godok Aturan Baru Calon Kepala Daerah Pakai Ijazah Luar Negeri

Nasional
Status Perkawinan Prabowo-Titiek Tertulis 'Pernah', Apa Maknanya?

Status Perkawinan Prabowo-Titiek Tertulis "Pernah", Apa Maknanya?

Nasional
Wamenhan Terima Kunjungan Panglima AU Singapura, Bahas Area Latihan Militer

Wamenhan Terima Kunjungan Panglima AU Singapura, Bahas Area Latihan Militer

Nasional
Pengamat: Anies Ditinggal Semua Partai Pengusungnya, Terancam Tak Punya Jabatan Apa Pun

Pengamat: Anies Ditinggal Semua Partai Pengusungnya, Terancam Tak Punya Jabatan Apa Pun

Nasional
Pilkada 2024: Usia Calon Gubernur Minimum 30 Tahun, Bupati/Wali Kota 25 Tahun

Pilkada 2024: Usia Calon Gubernur Minimum 30 Tahun, Bupati/Wali Kota 25 Tahun

Nasional
Menlu Sebut Judi 'Online' Jadi Kejahatan Transnasional, Mengatasinya Perlu Kerja Sama Antarnegara

Menlu Sebut Judi "Online" Jadi Kejahatan Transnasional, Mengatasinya Perlu Kerja Sama Antarnegara

Nasional
PDI-P Percaya Diri Hadapi Pilkada 2024, Klaim Tak Terdampak Jokowi 'Effect'

PDI-P Percaya Diri Hadapi Pilkada 2024, Klaim Tak Terdampak Jokowi "Effect"

Nasional
Harap Kemelut Nurul Ghufron dan Dewas Segera Selesai, Nawawi: KPK Bisa Fokus pada Kerja Berkualitas

Harap Kemelut Nurul Ghufron dan Dewas Segera Selesai, Nawawi: KPK Bisa Fokus pada Kerja Berkualitas

Nasional
Hasto Ungkap Jokowi Susun Skenario 3 Periode sejak Menang Pilpres 2019

Hasto Ungkap Jokowi Susun Skenario 3 Periode sejak Menang Pilpres 2019

Nasional
Ikut Kabinet atau Oposisi?

Ikut Kabinet atau Oposisi?

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke