Salin Artikel

Perppu Pilkada Dinilai Mendesak untuk Diterbitkan

JAKARTA, KOMPAS.com - Sejumlah sanksi yang diatur di dalam peraturan Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang baru dinilai belum mampu memberikan efek jera kepada para pelanggar protokol kesehatan.

Presiden Joko Widodo pun diharapkan dapat menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) terkait Pilkada Serentak 2020 yang mengatur sanksi yang lebih tegas bagi pelanggar protokol kesehatan.

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada yang menjadi landasan acuan disusunnya PKPU Nomor 13 Tahun 2020 tentang Pilkada Serentak Lanjutan dalam Kondisi Bencana Non-alam Covid-19, dinilai menjadi penghambat bagi penyelenggara pemilu untuk memberikan sanksi yang lebih tegas.

Pakar hukum tata negara Zainal Arifin Mochtar mengungkapnya, idealnya aturan protokol kesehatan diatur di dalam undang-undang. Namun, jika hal itu tidak memungkinkan karena persoalan waktu, maka presiden dapat menerbitkan perppu.

Menurut dia, bila protokol kesehatan hanya diatur di dalam PKPU, tidak menutup kemungkinan hal itu justru akan memunculkan kerancuan antara UU Pilkada dengan PKPU itu sediri.

Sebab, UU dipandang sebagai peraturan umum yang berlaku pada saat keadaan biasa. Sedangkan PKPU berlaku untuk kondisi khusus.

"Ini bentuk selemah-lemahnya sebenarnya yang bisa dilakukan, karena paling baik tentu adalah undang-undang diubah. Artinya kita membiarkan ada kerancuan antara undang-undang dengan Peraturan KPU," kata Zainal saat dihubungi Kompas.com, Kamis (24/9/2020).

Selain rancunya aturan, lanjut Zainal, apabila ketentuan protokol kesehatan hanya diatur di PKPU, ketentuan itu menjadi rawan digugat. Apalagi, aturan yang tertuang dalam PKPU bertentangan dengan Undang-Undang Pilkada.

Hal itu pun turut diamini oleh Wakil Ketua DPR Azis Syamsuddin. Menurut dia, pengetatan aturan protokol kesehatan di dalam PKPU berpotensi digugat ke Mahkamah Agung.

"Seharusnya dengan Perppu. Karena PKPU harus selaras dengan Undang-Undang. Peraturan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan UU yang lebih tinggi," kata Azis dalam keterangan tertulis, Jumat (25/9/2020), seperti dilansir dari Antara.

Terbentur UU

Anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Mochammad Afifuddin mengungkapkan, penyelenggara pemilu sebenarnya ingin membuat aturan yang lebih progresif terkait protokol kesehatan.

Namun, upaya itu terbentur oleh UU Pilkada yang tidak mengatur sanksi yang lebih tegas. Sebab, UU yang ada saat ini tidak mengatur terkait protokol kesehatan pilkada pada masa pandemi.

"Terus terang saja undang-undang yang kita pakai kan memang sama (seperti sebelum pandemi Covid-19), PKPU-nya menyesuaikan dengan protokol kesehatan. Nah, banyak hal yang kita maunya progresif kemudian mentok di undang-undangnya," kata Afif dalam sebuah diskusi virtual, Kamis (23/9/2020).

Afif mengatakan, dengan kondisi ini, idealnya ketentuan tentang protokol kesehatan diatur dalam perppu. Namun, pada akhirnya, perppu tidak diterbitkan sehingga protokol pilkada hanya diatur lewat PKPU saja.

"Jadi yang paling minim yang bisa dilakukan akhirnya ya pengaturannya seperti itu," ujarnya.

Sanksi lembek

Sementara itu, peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus menilai, sanksi yang diatur KPU di dalam peraturan yang baru masih sangat lemah.

Umumnya, sanksi yang diatur hanya berupa teguran tertulis. Sekalipun ada juga sanksi berupa penghentian dan pembubaran kegiatan serta larangan kampanye menggunakan metode yang dilanggar selama tiga hari.

Menurut Lucius, sanksi-sanksi tersebut tidak akan cukup membuat para pasangan calon kepala daerah beserta tim sukses dan pendukungnya tunduk untuk tidak melanggar protokol kesehatan.

Bahkan, potensi terjadinya pelanggaran protokol kesehatan masih ada dengan diperbolehkannya pertemuan terbatas, tatap muka, dialog dan debat publik dengan mengumpulkan massa dalam meski dalam jumlah terbatas.

"Saya kira terkait sanksi ini juga sangat lembek di PKPU ini. Umumnya itu peringatan tertulis, tidak ada yang lebih serius untuk itu," kata Lucius dalam sebuah diskusi daring, Kamis (24/9/2020).

Namun demikian KPU menampik. Komisioner KPU I Dewa Kade Wiarsa Raka Sandi mengklaim, sanksi yang diatur di dalam PKPU 13/2020 sudah cukup tegas.

Ia menyebut, dalam beberapa tahapan Pilkada terakhir, kerumunan massa sudah bisa diminimalisir.

Hal itu terlihat saat tahapan penetapan pasangan calon kepala daerah digelar 23 September lalu, serta pengambilan nomor urut paslon pada 24 September.

Tak seperti tahapan pendaftaran paslon, menurut Raka, dua tahapan Pilkada terakhir berjalan tertib dalam hal penerapan protokol kesehatan.

https://nasional.kompas.com/read/2020/09/25/17334371/perppu-pilkada-dinilai-mendesak-untuk-diterbitkan

Terkini Lainnya

Megawati Cermati 'Presidential Club' yang Digagas Prabowo

Megawati Cermati "Presidential Club" yang Digagas Prabowo

Nasional
Anwar Usman Dilaporkan ke MKMK, Diduga Sewa Pengacara Sengketa Pileg untuk Lawan MK di PTUN

Anwar Usman Dilaporkan ke MKMK, Diduga Sewa Pengacara Sengketa Pileg untuk Lawan MK di PTUN

Nasional
Pascaerupsi Gunung Ruang, BPPSDM KP Lakukan “Trauma Healing” bagi Warga Terdampak

Pascaerupsi Gunung Ruang, BPPSDM KP Lakukan “Trauma Healing” bagi Warga Terdampak

Nasional
Momen Jokowi Bersimpuh Sambil Makan Pisang Saat Kunjungi Pasar di Sultra

Momen Jokowi Bersimpuh Sambil Makan Pisang Saat Kunjungi Pasar di Sultra

Nasional
Jokowi Jelaskan Alasan RI Masih Impor Beras dari Sejumlah Negara

Jokowi Jelaskan Alasan RI Masih Impor Beras dari Sejumlah Negara

Nasional
Kecelakaan Bus di Subang, Kompolnas Sebut PO Bus Bisa Kena Sanksi jika Terbukti Lakukan Kesalahan

Kecelakaan Bus di Subang, Kompolnas Sebut PO Bus Bisa Kena Sanksi jika Terbukti Lakukan Kesalahan

Nasional
Jokowi Klaim Kenaikan Harga Beras RI Lebih Rendah dari Negara Lain

Jokowi Klaim Kenaikan Harga Beras RI Lebih Rendah dari Negara Lain

Nasional
Layani Jemaah Haji, KKHI Madinah Siapkan UGD dan 10 Ambulans

Layani Jemaah Haji, KKHI Madinah Siapkan UGD dan 10 Ambulans

Nasional
Saksi Sebut Kumpulkan Uang Rp 600 juta dari Sisa Anggaran Rapat untuk SYL Kunjungan ke Brasil

Saksi Sebut Kumpulkan Uang Rp 600 juta dari Sisa Anggaran Rapat untuk SYL Kunjungan ke Brasil

Nasional
Soal Posisi Jampidum Baru, Kejagung: Sudah Ditunjuk Pelaksana Tugas

Soal Posisi Jampidum Baru, Kejagung: Sudah Ditunjuk Pelaksana Tugas

Nasional
KPK Diusulkan Tidak Rekrut Penyidik dari Instansi Lain, Kejagung Tak Masalah

KPK Diusulkan Tidak Rekrut Penyidik dari Instansi Lain, Kejagung Tak Masalah

Nasional
Jokowi Tekankan Pentingnya Alat Kesehatan Modern di RS dan Puskesmas

Jokowi Tekankan Pentingnya Alat Kesehatan Modern di RS dan Puskesmas

Nasional
100.000-an Jemaah Umrah Belum Kembali, Beberapa Diduga Akan Berhaji Tanpa Visa Resmi

100.000-an Jemaah Umrah Belum Kembali, Beberapa Diduga Akan Berhaji Tanpa Visa Resmi

Nasional
KPU Bantah Lebih dari 16.000 Suara PPP Hilang di Sumut

KPU Bantah Lebih dari 16.000 Suara PPP Hilang di Sumut

Nasional
Tata Kelola Makan Siang Gratis

Tata Kelola Makan Siang Gratis

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke