Hal ini disampaikan menyusul munculnya Putusan MA Nomor 44 Tahun 2019 tentang aturan Pilpres.
Menurut Titi, publik dibuat terkejut oleh putusan ini, salah satunya karena tertutupnya proses uji materi di MA.
"Uji materi di Mahkamah Agung harus dilakukan terbuka dan akuntabel," kata Titi dalam diskusi yang digelar secara virtual, Kamis (9/7/2020).
Titi mengatakan, akses publik terhadap proses uji materi di MA sangat terbatas.
Publik hanya bisa mengetahui hasil dari uji materi melalui Putusan MA yang diunggah di laman resmi MA pasca uji materi selesai.
Hal ini sangat berbeda dengan proses uji materi yang digelar di Mahkamah Konstitusi (MK).
Di MK, berkas permohonan pengujian undang-undang yang baru diregistrasi diunggah melalui laman resmi.
Proses uji materi juga ditayangkan melalui siaran langsung MK sehingga masyarakat dapat mengetahui pihak-pihak yang terlibat.
Setelah uji materi selesai, putusan MK juga langsung ditayangkan di laman resmi.
"Kalau di MA ini kan tidak ya, sebaliknya, kita tidak banyak tahu prosesnya seperti apa dan bagaimana dilakukan karena memang prosesnya tidak seterbuka dan seaksesibel ketika uji materi di MK," ujar Titi.
Adapun Putusan MA Nomor 44 Tahun 2019 sebenarnya terbit pada 28 Oktober 2019. Namun, putusan tersebut baru diunggah di laman resmi MA pada 3 Juli 2020.
Selain prosesnya yang tertutup, kata Titi, putusan MA diunggah dalam jangka waktu yang sangat lama dari waktu penerbitan.
Oleh karenanya, lanjut Titi, penting untuk mengubah mekanisme uji materi di MA menjadi lebih terbuka.
"Proses yang terbuka itu membuka kita untuk memahami sesungguhnya ada peristiwa apa yang terkait dengan pengujian UU," kata dia.
Untuk diketahui, Mahkamah Agung (MA) mengabulkan permohonan uji materi Pasal 3 Ayat (7) Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 5 Tahun 2019 tentang Penetapan Pasangan Calon Terpilih, Penetapan Perolehan Kursi, dan Penetapan Calon Terpilih dalam Pemilihan Umum.
Gugatan ini diajukan oleh pendiri Yayasan Pendidikan Soekarno, Rachmawati Soekarnoputri, dan kawan-kawan.
Dalam putusan Nomor 44 P/PHUM/2019 tersebut dan diunggah pada 3 Juli 2020 lalu, MA menyatakan Pasal 3 ayat 7 PKPU 5/2019 bertentangan dengan Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, terutama Pasal 416 ayat 1.
"Mengabulkan permohonan hak uji materiil yang diajukan para pemohon untuk sebagian dan menyatakan Pasal 3 ayat 7 PKPU 5/2019 bertentangan dengan UU 7/2017," demikian dilansir Kompas.com dari Kontan.co.id, Selasa (7/7/2020).
Pasal 3 Ayat (7) PKPU 5/2019 berbunyi "Dalam hal hanya terdapat 2 (dua) pasangan calon dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, KPU menetapkan pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak sebagai pasangan calon terpilih".
Sedangkan Pasal 416 Ayat (1) UU 7/2017 berbunyi "Pasangan Calon terpilih adalah Pasangan Calon yang memperoleh suara lebih dari 50 persen (lima puluh persen) dari jumlah suara dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dengan sedikitnya 20 persen (dua puluh persen) suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari 1/2 (setengah) jumlah provinsi di Indonesia".
Dalam pertimbangannya MA berpendapat, KPU yang mengeluarkan PKPU 5/2019 telah membuat norma baru dari peraturan yang berada diatasnya, yakni UU 7/2019. Selain itu, KPU juga memperluas tafsir dalam Pasal 416 UU 7/2017.
https://nasional.kompas.com/read/2020/07/10/10094471/pasca-putusan-soal-pilpres-proses-uji-materi-ma-didorong-jadi-terbuka