Salin Artikel

Kemenkes Sebut Pengendalian TBC Alami Hambatan Selama Pandemi Covid-19

Pasien dan pihak rumah sakit sama-sama khawatir ketika akan melakukan pemeriksaan rutin.

"Selama pandemi Covid-19 turut mengalami beberapa hambatan. Terlebih karena kekhawatiran pasien TBC serta pihak rumah sakit dalam melakukan pemeriksaan," ujar Wiendra dalam talkshow yang digelar secara daring oleh Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, Selasa (7/7/2020).

"Pasiennya tidak bisa ke layanan kesehatan karena takut, kemudian fasilitas kesehatan juga sekarang takut memeriksa pasien TBC, terlebih pada Covid-19," lanjutnya.

Karenanya, Wiendra mengimbau kepada masyarakat penderita TBC untuk tetap berobat ke fasilitas kesehatan yang ada.

Selain itu, mereka harus mengkonsumsi obat hingga sembuh total sehingga penularannya tidak semakin meningkat.

"Pelayanan TBC tidak bisa berhenti, kalau butuh ke layanan protokol kesehatan tetap dijalani. Jangan putus obat dan pastikan bahwa obat itu didapatkan oleh pasien," tegas Wiendra.

Dia melanjutkan, langkah pencegahan Covid-19 dengan menerapkan protokol kesehatan meningkatkan kesadaran masyarakat Indonesia bahwa kesehatan dan kebersihan adalah hal yang penting.

Hal ini turut mendukung pencegahan penularan penyakit TBC di masyarakat.

Wiendra mengungkapkan, Indonesia menjadi negara ketiga terbesar dengan kasus TBC di dunia setelah India dan China.

Menurut data Kemenkes, estimasi kasus TBC di Indonesia mencapai 845.000 jiwa dan yang telah ditemukan sekitar 69 persen atau sekitar 540.000 jiwa.

Kemudian, angka kematian penyakit TBC juga cukup tinggi, yaitu ada 13 orang per jam.

"Kasus yang belum ditemukan juga memiliki potensi penularan yang sangat tinggi, sama seperti Covid-19," tegasnya.

"Penularannya sama-sama dari droplet. Tapi perbedaannya adalah pada diagnosisnya. Kalau Covis-19 dari virus, sedangkan TBC dari kuman atau bakteri," lanjut Wiendra.

Selanjutnya pada gejala, kasus TBC antara terdapat serangan kronik lebih dari 14 hari dengan gejala demam kurang dari 38 derajat celcius disertai batuk berdahak, bercak darah, sesak napas memberat bertahap, berat badan turun dan berkeringat di malam hari.

Sedangkan gejala Covid-19 antara lain gejala akut kurang dari 14 hari disertai demam lebih dari 38 derajat celcius dengan batuk kering, sesak napas muncul segera setelah nyeri sendi, pilek, nyeri kepala, gangguan penciuman atau pengecapan.

Proses diagnosis TBC dan Covis-19 juga memiliki kesamaan dengan menggunakan metode Tes Cepat Molekuler (TCM) dan Polymerase Chain Reaction(PCR).

Namun perbedaannya ada pada pengambilan sampelnya.

Untuk diagnosis Covis-19 harus melalui swab, sedangkan TBC cukup dengan dahak saja.

Selain itu, perbedaan besar antara Covid-19 dengan TBC adalah belum ada obat yang dapat menyembuhkan Covid-19.

Sedangan TBC sudah ditemukan obatnya dan dapat diakses secara gratis.

"Covid-19 belum punya obat, sedangkan TBC sudah ada obatnya, dengan catatan harus dikonsumsi dengan baik dan patuh," paparnya.

Meski demikian, masih banyak masyarakat yang menyepelekan penyakit TBC karena dianggap merupakan penyakit lama sehingga kurang memperhatikan kedisiplinan pada proses penyembuhan melalui konsumi obat yang telah tersedia.

Akibatnya, para penderita TB menjadi resisten atau obatnya sudah tidak mempan lagi dengan penyakit TBC tersebut.

"Ketika sudah mengkonsumsi, lalu stop, lalu nanti minum lagi. Jadi sembuhnya tidak betul-betul sembuh sempurna. Padahal obat TBC harus dikonsumsi dalam waktu yang cukup panjang yaitu enam bulan," tambah Wiendra.

https://nasional.kompas.com/read/2020/07/07/21143351/kemenkes-sebut-pengendalian-tbc-alami-hambatan-selama-pandemi-covid-19

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke