"Pelaku, yang bisa saja membunuh Novel, tetap dikenakan pasal penganiayaan, sementara Novel harus menanggung akibat perbuatan pelaku seumur hidup," kata Usman dalam keterangan tertulis, Jumat (12/6/2020).
Usman membandingkan dengan tuntutan hukuman yang dialami tahanan hati nurani Papua.
Menurut dia, Untuk sesuatu yang dilindungi oleh hukum nasional dan internasional, mereka malah terancam hukuman hingga belasan tahun.
Padahal mereka tidak bersenjata, melakukan perbuatan secara damai, tapi justru dibungkam.
Pelaku penyerangan Novel justru sebaliknya, bersenjata dan jelas melakukan kekerasan, namun ancaman hukumannya sangat ringan.
"Hukum menjadi dipertanyakan dan keseriusan Indonesia untuk menegakkan HAM juga turut dipertanyakan," kata dia.
Usman menegaskan, insiden yang menimpa penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi ini bukan hanya soal teror, tetapi juga menjadi masalah serius yang mengancam kelanjutan pelaksanaan agenda reformasi di Indonesia. Khususnya, dalam bidang pemberantasan korupsi dan penegakan HAM.
Oleh karena itu, menurut Usman, pelaku kunci juga harus diungkap.
"Kasus-kasus high-profile yang menyasar pembela HAM seperti penyerangan Novel ini mengingatkan kita akan kasus Munir, motif yang terungkap di pengadilan juga sama, dendam pribadi," ujar dia.
"Ada kesan kasus dipersempit dengan hanya menjaring pelaku di lapangan, bukan otaknya," kata Usman Hamid.
Diberitakan, dua terdakwa kasus penyiraman air keras terhadap Novel Baswedan, Rahmat Kadir Mahulette dan Rony Bugis, dituntut hukuman satu tahun penjara.
JPU menganggap Rahmat Kadir terbukti melakukan penganiayaan dengan perencanaan terlebih dahulu dan mengakibatkan luka berat.
Sementara itu, Rony dinilai bersalah karena dianggap terlibat dalam penganiayaan berat yang mengakibatkan Novel Baswedan kehilangan penglihatan.
Keduanya dituntut dengan Pasal 353 KUHP Ayat 2 jo Pasal 55 Ayat 1 ke 1 KUHP.
https://nasional.kompas.com/read/2020/06/12/09260301/tuntutan-1-tahun-penjara-bagi-penyerang-novel-dinilai-cederai-keadilan