Dia mengatakan, new reality lebih bersifat netral dibanding istilah new normal yang sering digaungkan oleh pemerintah.
"Karena itu (new reality) lebih bersifat netral dan kemudian lebih mudah untuk kita menjelaskannya," kata Abdul dalam disuksi online bertajuk "Tata Hidup Baru (The Normal Life): Prespektif Agama-agama", Senin (8/6/2020).
"New normal itu ada dimensi, ada dimensi moral dan ada dimensi ideologinya sebenarnya kalau dikasih lebih jauh," ujar dia.
Menurut Abdul Mu'ti, harus ada tolak ukur tersendiri terkait istilah new normal. Bahkan, lanjut dia, dalam konstruksi undang-undang tidak mengenal istilah new normal.
"Cuma karena istilah ini dikemukakan oleh seorang pemimpin negara jadi kita pun seperti harus hiruk-pikuk dengan istilah itu," ucapnya.
Kendati demikian, Abdul Mu'ti menilai istilah new reality tidak perlu lagi diperdebatkan.
Ia pun menyarankan pemerintah untuk fokus menyelesaikan masalah yang muncul karena pandemi Covid-19.
"Bagaimana mereka yang kehilangan pekerjaan harus kita upayakan untuk bisa tetap kembali bekerja," tutur dia.
"Bagaimana situasi di mana anak-anak tidak bisa belajar sekolah sebagaimana biasa Kemudian, harus tetap bisa belajar dengan sebaik-baiknya," ucap Abdul Mu'ti.
Diketahui, new normal menjadi istilah baru yang ramai diperbincangkan. Istilah ini muncul tak lama usai Presiden Joko Widodo mengajak "berdamai" dengan Covid-19.
Ada sejumlah daerah yang akan menjadi ‘proyek percontohan’ kebijakan ini.
Ada 4 provinsi dan 25 kabupaten/kota yang akan mulai melaksanakan skenario ini. Empat provinsi tersebut adalah Sumatera Barat, DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Gorontalo.
Namun, sampai saat ini pemerintah belum mengumumkan penerapan new normal.
https://nasional.kompas.com/read/2020/06/08/13272291/muhammadiyah-lebih-setuju-new-reality-dibanding-new-normal-ini-alasannya