Salin Artikel

Dorong Reformasi Organisasi, Gus Yahya Tak Ingin NU Sekadar Jadi Batu Loncatan Politik

Menurut Katib Aam PBNU itu, reformasi NU ini menjadi penting untuk kembali menghidupkan fungsi dan relevansi organisasi.

Gus Yahya menilai, saat ini NU kerap dijadikan alat untuk mengumpulkan dukungan demi kekuasaan politik.

"Jadi, bukan hanya sebagai simpul-simpul untuk menggalang dukungan politk seperti yang banyak terjadi selama ini. Supaya orang tidak menjadikan NU sebagai batu loncatan politik untuk posisi-posisi politik," kata Gus Yahya dalam peluncuran buku 'PBNU: Perjuangan Besar Nahdlatul Ulama', di kantor PBNU, Jl Kramat Raya, Jakarta Pusat, Rabu (11/3/2020).

Ia mengatakan, kursi kepengurusan NU kini jadi rebutan karena alasan politis. Gus Yahya khawatir, pola calon presiden atau calon wakil presiden dari kalangan NU berulang.

"Saya lihat orang sudah mulai berebut jadi pengurus NU, tujuannya karena politik. Yang saya khawatir kalau sampai ada capres atau cawapres dari PBNU. Terus terang saya khawatir," tuturnya.

Gus Yahya menyatakan, NU dalam keadaan bahaya jika organisasi hanya sekadar jadi alat meraih kekuasaan.

Ia tidak ingin forum-forum musyawarah NU diisi berbagai kepentingan politik.

"Nanti forum-forum musyawarah jadi ajang kompetisi politik dari berbagai macam kekuatan. Dari bawah sampai ke pusat. Ini kekhawatiran saya," kata Gus Yahya.

"Maka harus diubah konstruksi ini supaya betul-betul fungsional untuk kemaslahatan, bahwa gesture NU akan lebih inklusif," imbuh dia.

Dorong konstruksi organisasi ala pemerintahan

Gus Yahya menyatakan reformasi di tubuh NU tidak hanya kestrukturan, tetapi juga reformasi pola pikir.

Menurut Gus Yahya, konstruksi organisasi NU saat ini tidak banyak berubah sejak 1952. Maka, ia menilai ada ancaman NU tidak lagi relevan bagi warganya.

"Ini perlu reformasi tersendiri. Tidak hanya reformasi struktur formal. Tapi juga reformasi mindset. Perlu ada perubahan pola pikir, bahkan mental," kata Gus Yahya.

Gagasan yang ia miliki adalah mengubah konstruksi organisasi NU seperti pemerintahan.

Artinya, jamiyah NU sebagai pemerintah dan jemaah NU sebagai warga. Menurut Gus Yahya, konstruksi ini paling ideal karena warga NU bukan berdasarkan keanggotaan terikat.

"Karena kenyataannya kita tidak punya keanggotaan. Kalau manajemen organisasi asumsinya anggota dalam kontrol organisasi. Anggota itu tanda tangan kesetiaan taat organisasi. Apapun harus ikut. Itu nalar organisasi," jelasnya.

"NU kan enggak gitu. Karena warga bukan keanggotaan yang terdaftar. Warga adalah kesertaan yang longgar," lanjut Gus Yahya.

Ia yakin, melalui konstruksi ini hubungan antara NU sebagai organisasi dengan warganya kembali berfungsi dengan baik.

Namun, dengan konstruksi yang ia sebutkan itu, ada konsekuensi yang harus dilaksanakan NU. Gus Yahya mengatakan NU harus berfungsi menyediakan layanan untuk warganya.

Selanjutnya, NU harus memobilisasi sumber daya untuk kemudian didistribusikan kepada warga.

Selain itu, artinya NU harus mampu menetapkan regulasi layanan yang dapat diakses warganya secara adil dan transparan.

"NU harus membangkitkan bobot aktivitasnya yang tadinya ada di pusat, dibalik jadi ke bawah. Jadi ujung tombak aktivitas adalah cabang. PBNU punya tanggung jawab mobilisasi dan mendapatkan sumber daya untuk kemudian dibagi ke bawah untuk dijadikan kegiatan di bawah," kata Gus Yahya.

https://nasional.kompas.com/read/2020/03/11/20143701/dorong-reformasi-organisasi-gus-yahya-tak-ingin-nu-sekadar-jadi-batu

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke