Pria yang akrab disapa Gus Yahya mengatakan, secara garis besar buku yang ia tulis itu membicarakan relevansi organisasi NU bagi masyarakat.
Sebab, ia menilai bahwa saat ini ada potensi NU tidak lagi relevan bagi para warganya dan ditinggalkan.
"Yang saya perhatikan ada ancaman NU menjadi semakan irelevan," kata Gus Yahya saat konferensi pers di kantor PBNU, Jl Kramat Raya, Jakarta Pusat.
"NU sebagai organisasi cenderung semakin tidak relevan. Berarti satu garis tren. Makin lama orang semakin enggak butuh sama organisasi," ujar Gus Yahya.
Ia melihat, warga NU sendiri tidak lagi menemukan signifikansi NU sebagai organisasi dalam kehidupan sehari-hari.
Hal yang sama, menurut dia, juga terjadi dalam konteks organisasi NU sebagai rekan pemerintah.
Gus Yahya mengatakan seolah NU hanya dibutuhkan sebagai alat meraih kekuasaan politik.
Dia pun menyinggung soal Ma'ruf Amin yang dipilih Presiden Joko Widodo sebagai calon wakil presiden pada Pemilu Presiden 2019.
"Terhadap counterpart juga NU cenderung makin tidak relevan. Orang makin enggak butuh NU sebagai organisasi," ujar Gus Yahya.
"Kemarin itu pilpres, 58 persen warga NU menurut survei memilih Jokowi-Ma'ruf. Kita tahu Kiai Ma'ruf Amin dipilih sebagai pasangan untuk menarik warga NU supaya mau memilih," tuturnya.
Dengan demikian, menurut dia, masih ada ada 42 persen warga NU yang tidak mau memilih Rais Aam-nya sendiri sebagai wapres.
"Inilah yang kemudian membuat bagi counterpart kelembagaan juga makin tidak relevan," ucap Gus Yahya.
"Ini karena memang kedodoran konstruksi organisasi, jamiyah NU. Karena sejak 1952 ketika NU jadi parpol sampai hari ini, konstruksi organisasi tidak berubah," kata dia.
Gus Yahya mengatakan upaya penyesuaian yang sudah dilakukan NU tampaknya belum terlalu berhasil. Pola hubungan NU sebagai jamiyah atau organisasi kepada jemaah masih sama seperti dulu.
"Sudah ada upaya penyesuaian, tapi masih sangat kurang. Basis konstruksi masih 1952," ujarnya.
Reformasi NU
Oleh karena itu, Gus Yahya menyatakan, perlu ada reformasi di tubuh NU. Tidak hanya reformasi kestrukturan, tetapi juga reformasi pola pikir.
"Ini perlu reformasi tersendiri. Tidak hanya reformasi struktur formal. Tapi juga reformasi mindset. Perlu ada perubahan pola pikir, bahkan mental," kata Gus Yahya.
Gagasan yang ia miliki adalah mengubah konstruksi organisasi NU seperti pemerintahan. Artinya, jamiyah NU sebagai pemerintah dan jemaah NU sebagai warga.
Menurut Gus Yahya, konstruksi ini paling ideal karena warga NU bukan berdasarkan keanggotaan terikat.
"Karena kenyataannya kita tidak punya keanggotaan. Kalau manajemen organisasi asumsinya anggota dalam kontrol organisasi. Anggota itu tanda tangan kesetiaan taat organisasi. Apapun harus ikut. Itu nalar organisasi," tuturnya.
"NU kan enggak begitu. Karena warga bukan keanggotaan yabg terdaftar. Warga adalah kesertaan yang longgar," tutur Gus Yahya.
Ia yakin, melalui konstruksi ini hubungan antara NU sebagai organisasi dengan warganya kembali berfungsi dengan baik.
Namun, dengan konstruksi yang ia sebutkan itu, ada konsekuensi yang harus dilaksanakan NU. Gus Yahya mengatakan NU harus berfungsi menyediakan layanan untuk warganya.
Selanjutnya, NU harus memobilisasi sumber daya untuk kemudian didistribusikan kepada warga. Selain itu, artinya NU harus mampu menetapkan regulasi layanan yang dapat diakses warganya secara adil dan transparan.
"NU harus membangkitkan bobot aktivitasnya yang tadinya ada di pusat, dibalik jadi ke bawah. Jadi ujung tombak aktivitas adalah cabang. PBNU punya tanggung jawab mobilisasi dan mendapatkan sumber daya untuk kemudian dibagi ke bawah untuk dijadikan kegiatan di bawah," kata Gus Yahya.
https://nasional.kompas.com/read/2020/03/11/19462391/rilis-buku-perjuangan-besar-nahdlatul-ulama-gus-yahya-bicara-relevansi-nu