Itu disampaikan Sulis dalam acara diskusi bertajuk 'Menolak Diskriminasi Gender dan Kekerasan Sistematik Terhadap Perempuan dan RUU Ketahanan Keluarga', di Universitas Indonesia, Salemba, Jakarta Pusat, Rabu (26/2/2020).
"Di dalam rancangan undang-undang ini banyak sekali masalah-masalah yang dengan gampang kita lihat ini kan harusnya ada di ranah etika. Enggak di ranah hukum," kata Sulis.
Salah satu contohnya adalah, mengatur hubungan antara suami dan istri dalam keluarga.
"Inti dari undang-undang ini adalah mengajari kita bagaimana caranya berkeluarga, mengatur bagaimana relasi suami istri secara sangat berlebihan," ungkapnya.
Ia menjelaskan sebenarnya, etika, moral dan hukum tidak bisa disatukan. Sebab, kata Sulis, etika dan moral harus dipertanggungjawabkan pada Tuhan dan masyarakat.
"Nah dalam hal ini etika itu lebih tinggi dari hukum tidak ada ancaman pidanannya tetapi itu ancaman sosialnya akan bekerja jauh lebih efektif. Dan etika moral itu dipertanggung jawabkan oleh manusia pribadi sebagai orang yang berakhlak mulia," jelas Sulis.
Seperti diketahui, RUU Ketahanan Keluarga dikritik sejumlah pihak karena dianggap terlalu mencampuri urusan pribadi.
RUU itu di antaranya mengatur tentang kewajiban suami dan istri dalam pernikahan hingga wajib lapor bagi keluarga atau individu pelaku LGBT.
Aktivitas seksual sadisme dan masokisme juga dikategorikan sebagai penyimpangan seksual dalam RUU tersebut sehingga wajib dilaporkan.
RUU Ketahanan Keluarga ini merupakan usul DPR dan diusulkan oleh lima anggota DPR yang terdiri dari empat fraksi.
Mereka adalah anggota Fraksi PKS Ledia Hanifa dan Netty Prasetiyani, anggota Fraksi Golkar Endang Maria Astuti, anggota Fraksi Gerindra Sodik Mujahid, dan anggota Fraksi PAN Ali Taher.
https://nasional.kompas.com/read/2020/02/26/13533571/ruu-ketahanan-keluarga-dianggap-terlalu-banyak-atur-ranah-etika