Hal itu disampaikan oleh kuasa hukum pemerintah dalam sidang yang mengagendakan pembacaan eksepsi di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta, sebagaimana dibacakan oleh ketua majelis hakim persidangan, Nelvy Christin, Rabu (29/1/2020).
Gugatan sebelumnya disampaikan oleh Tim Advokasi Pembela Kebebasan Pers yang terdiri atas Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI), Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFENet), LBH Pers, YLBHI, KontraS, Elsam, dan ICJR.
“Dalam pokok perkara, tergugat, pada pokoknya menyatakan bahwa objek gugatan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan dan asas umum pemerintahan yang baik,” baca Nelvy.
“Pada akhirnya, jawaban dari Tergugat 2, meminta dalam eksepsi menerima eksepsi Tergugat 2 untuk seluruhnya. Menyatakan gugatan para penggugat tidak dapat diterima,” imbuh dia.
Tindakan pelambatan akses internet itu terjadi di Provinsi Papua dan Papua Barat pada 19 Agustus 2019 antara pukul 13.00 WIT hingga 20.30 WIT.
Sedangkan, pemblokiran akses internet terjadi sejak 19 Agustus hingga 4 September 2019 di 29 kabupaten/kota di Papua dan 13 kabupaten/kota di Papua Barat.
Pemerintah juga memperpanjang pemblokiran akses internet pada 4 September pukul 23.00 WIT hingga 9 September pukul 20.00 WIT di empat kabupaten/kota di Papua meliputi Kota dan Kabupaten Jayapura, Kabupaten Mimika dan Kabupaten Jayawijaya, serta dua kota di Papua Barat yakni Kota Manokwari dan Kota Sorong.
Usai membacakan ringkasan eksepsi, sidang ditunda hingga sepekan ke depan untuk dilanjutkan dengan agenda replik.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo dan Kementerian Komunikasi dan Informasi digugat ke PTUN lantaran diduga telah melanggar pasal terkait jaminan kemerdekaan pers dalam menyebarkan gagasan dan informasi.
"Bahwa objek gugatan jelas melanggar pasal 4 ayat (1) undang-undang nomor 40 tahun 1999 tentang pers," ujar Kata Koordinator Tim Advokasi Pembela Kebebasan Pers M Isnur di PTUN Jakarta, Rawamangun, Jakarta Pusat, Rabu (22/1/2020).
Adapun Pasal 4 ayat (1) menyatakan, kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara. Kemudian pada Pasal 4 ayat (3) menegaskan, untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi.
Isnur menjelaskan, pembatasan internet telah menghalangi dan menganggu aktivitas wartawan yang sedang melakukan peliputan di Papua dan Papua Barat.
Akibatnya, masyarakat juga menjadi terbatasi dalam menerima informasi.
Selain itu, pihaknya juga sudah berulang kali mempertanyakan dasar hukum dan prosedur dalam membatasi akses internet. Namun, lanjut Isnur, Kemenkominfo tidak bisa menjawab.
Sebaliknya, pihak Kemenkominfo justru berargumen keputusan pembatasan internet merupakan permintaan dari aparat keamanan.
"Jadi mereka tidak punya landasan hukum memadamkan internet. Pemerintah harus berlandasakan hukum, jalau tidak ada dasar hukum, berarti mereka sewenang-webang," kata Isnur.
"Dalam hal ini, kami mendalilkan ke hakim bahwa pemerintah dalam memadamkan internet itu swenang-wenang atau abuse of power," tegas Isnur.
Diketahui, pemerintah melakukan perlambatan internet dengan alasan untuk mengurangi penyebaran hoaks. Termasuk meminimalisasi penyebaran konten negatif yang dapat memprovokasi ketika terjadinya aksi massa di Papua.
Pihak kepolisian saat itu menyebut bahwa aksi anarkistis bisa lebih parah jika tak dilakukan pembatasan akses internet.
https://nasional.kompas.com/read/2020/01/29/13030901/di-ptun-pemerintah-tegaskan-pemblokiran-akses-internet-di-papua-tak-langgar