"Kalau lokalisasi (tingkat daerah), seakan-akan pelanggaran HAM bukan persoalan bangsa Indonesia, cuma persoalan sekelompok kecil di Aceh," ujar Afridal di Kawasan Cikini, Jakarta, Kamis (23/1/2020).
Afridal mengatakan, jika terjadi sudut pandang hanya jadi tanggung jawab daerah, maka terjadi eksklusivitas penyelesaian.
Terlebih, kata Afridal, pemerintah pusat sejauh ini sulit untuk diajak berbicara mengenai penyelesaian pelanggaran HAM Aceh.
Dengan begitu, masyarakat Aceh merasa seakan-akan persoalan tersebut menjadi tanggung jawab tingkat daerah saja.
"(KKR Aceh) tidak bisa bekerja secara efektif, kalau tidak ada kebijakan yang melindunginya dari pemerinyah pusat," kata dia.
Dia mengatakan, tidak adanya kebijakan dari pemerintah pusat, akan memungkinkan pernyataan korban maupun saksi rentan kriminalisasi.
Karena itu, pihaknya menunggu pemerintah pusat mengambil langkah instrumen hukum dalam penyelesaian pelanggaran HAM di Aceh.
"Kami tunggu itu kebijakan dari Jakarta, yang ini memang (KKR) biasanya terjadi di mana pun di dunia," katanya.
KKR Aceh merupakan mandat dari perjanjian MoU Helsinski antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Pemerintah Indonesia pada 15 Agustus 2005.
Dalam kerjanya, KKR Aceh telah memberikan sejumlah rekomendasi atas pelanggaran HAM selama terjadinta konflik Aceh. Antara lain upaya pencarian kebenaran, rekonsiliasi, dan reparasi.
https://nasional.kompas.com/read/2020/01/23/22394591/pelanggaran-ham-di-aceh-kkr-aceh-ini-persoalan-bangsa-indonesia