Jabatan yang baru saja dihidupkan kembali itu, menurut Sukamta, justru menyebabkan jabatan politik menjadi semakin gemuk.
"Yang menjadi pertanyaan publik kemudian adalah kenapa justru Presiden membuat jabatan politik menjadi gemuk. Tidak sesuai dengan semangat debirokratisasi," katanya saat dihubungi, Kamis (7/11/2019).
Rencana pemangkasan birokrasi sendiri sempat disampaikan Jokowi dalam pidato pelantikan dirinya sebagai Presiden, 20 Oktober 2019.
Saat itu, Jokowi berkomitmen untuk meniadakan jabatan eselon 3 dan 4 di kementerian dan lembaga.
Namun, setelahnya Jokowi justru mengangkat sejumlah wakil menteri di beberapa kementerian.
Paling baru, Kepala Negara menghidupkan kembali kursi wakil panglima TNI.
Sukamta pun mempertanyakan langkah yang diambil Jokowi ini dan kelanjutan rencana debirokratisasi.
"Saya tidak tahu apa pertimbangan Presiden," ujarnya.
Sukamta melanjutkan, seharusnya jabatan wakil panglima TNI itu didasari Undang-Undang TNI.
Namun, ia menyebut, dalam UU TNI tidak diatur adanya jabatan wakil panglima TNI. Sukamta pun menilai jabatan itu tak sesuai dengan undang-undang.
"Yang lebih mendasar lagi, itu tidak sesuai dengan Undang-Undang TNI," kata Sukamta.
Presiden Joko Widodo memutuskan untuk menghidupkan kembali jabatan wakil panglima TNI. Hal ini dituangkan dalam Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2019 tentang Susunan Organisasi Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Keberadaan wakil panglima TNI tertuang dalam Pasal 13 Ayat (1).
"Markas Besar TNI meliputi: a. unsur pimpinan terdiri atas: 1. Panglima; dan 2. Wakil Panglima," demikian bunyi perpres yang dikutip dari laman resmi Sekretariat Negara, Kamis (7/11/2019).
https://nasional.kompas.com/read/2019/11/07/13030541/anggota-komisi-i-sebut-jabatan-wakil-panglima-tni-tak-sesuai-rencana