Ia merespons sikap sejumlah organisasi masyarakat sipil yang menolak delik tersebut diatur dalam RKUHP.
"Antara dibatasi, atau kita buat penghalusan terhadap rumusan yang ada, kita rumuskan ulang. Kita belum tahu mau dirumuskan ulang bagaimana, harus berkonsultasi dengan ahli pidana. Kita bicarakan politik hukumnya, nanti rumusan redaksionalnya bareng ahli pidana," ujar Arsul saat ditemui di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (2/9/2019).
Pasal 281 huruf c draf terbaru RKUHP menyatakan, setiap orang secara melawan hukum merekam, mempublikasikan secara langsung, atau membolehkan untuk dipublikasikan segala sesuatu yang dapat mempengaruhi sifat tidak memihak hakim dalam sidang pengadilan dipidana penjara paling lama 1 tahun.
Tindakan lain yang masuk dalam kategori contempt of court yakni bersikap tidak hormat terhadap hakim atau persidangan atau menyerang integritas atau sifat tidak memihak hakim dalam sidang pengadilan.
Arsul sepakat bahwa redaksional dari pasal tersebut perlu diperjelas, misalnya terkait dengan apa yang dimaksud tindakan tidak hormat atau menyerang integritas hakim.
Menurut dia, Tim Panja DPR dan pemerintah masih akan menggelar rapat untuk membahas pasal-pasal yang dianggap bermasalah sebelum RKUHP disahkan.
Adapun DPR menjadwalkan pengesahan RKUHP dalam rapat paripurna pada akhir September mendatang. Menurut jadwal, rapat paripurna DPR akan digelar pada Selasa (24/9/2019).
"Harus jelas memang mana yang dimaksud tidak hormat atau menyerang integritas hakim. Itu yang harus diperjelas, misalnya, memaki hakim, itu baru dianggap tidak hormat," kata Arsul.
"Tinggal kita lihat proporsionalitasnya dan rumusan redaksionalnya yang diperbaiki. Kita cari jalan tengah. Batasan antara mana yang menghina dan mana yang kritik," ucap dia.
Sebelumnya, Koalisi Pemantau Peradilan (KPP) menyatakan menolak dimasukannya delik tindak pidana terhadap proses peradilan atau contempt of court dalam draf RKUHP.
Ketua Harian Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MaPPI) Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI) Dio Ashar Wicaksana mengatakan, keberadaan pasal ini rawan menjadi pasal karet yang akan mengkriminalisasi masukan-masukan kritis terhadap proses peradilan serta pemberitaan terkait kinerja peradilan.
Artinya, delik contempt of court dapat menghambat reformasi peradilan yang masih membutuhkan masukan dari masyarakat dan media dalam menilai proses penyelenggaraan peradilan.
"KPP memandang pasal ini akan berpotensi mengkriminalisasi masyarakat atau pihak-pihak yang mencoba memberikan masukan terhadap kinerja peradilan," ujar Dio saat dihubungi Kompas.com, Senin (2/9/2019).
"Kami meminta tim perumus, pemerintah dan DPR agar menghapus ketentuan mengenai delik contempt of court dalam RKUHP ini," ucap dia.
Menurut Dio, delik contempt of court rentan memicu banyak kasus-kasus yang semestinya tidak perlu masuk ranah pidana.
Pasal tersebut akan dengan mudah menyasar akademisi, pers atau media, hingga kelompok masyarakat sipil yang berusaha menyuarakan penilaiannya terhadap hakim atau pengadilan yang dianggap tidak imparsial.
Padahal, kata Dio, menyuarakan pendapat terhadap tindakan penguasa, dalam hal ini termasuk juga hakim atau pengadilan, dalam dunia demokrasi merupakan hal yang biasa.
Di sisi lain, antara pengkritik dengan hakim atau pengadilan tersebut pun tidak ada relasi kuasa yang cukup kuat hingga mampu mengubah integritas hakim.
"Hakim yang secara independen mengadili perkara, tidak akan terganggu dengan kritikan yang sekeras apapun disuarakan, kecuali seperti telah disebutkan di atas dilakukan dengan cara-cara kekerasan atau melawan hukum, yang mana sudah diatur dalam pidana lain dalam undang-undang di Indonesia," tutur Dio.
https://nasional.kompas.com/read/2019/09/03/10012881/komisi-iii-delik-contempt-of-court-dalam-rkuhp-akan-dirumuskan-ulang