Lalu, apa parameter dari sikap kenegarawanan tersebut?
Ahli hukum dari Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Bivitri Susanti mengungkapkan bahwa hakim yang terpilih harus memiliki rekam jejak yang bersih dari berbagai pelanggaran.
Bivitri mengungkapkan, hal itu termasuk bersih dari kelalaian pelaporan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
"Salah satu parameter pentingnya, pelanggaran hukum administrasi, etik, itu di dalam track record-nya harus clean, maksudnya enggak ada pelanggaran-pelanggaran itu termasuk soal LHKPN," ungkap Bivitri saat ditemui di Bakoel Koffie, Jakarta Pusat, Kamis (7/2/2019).
Dari 11 calon yang diseleksi, sembilan di antaranya punya kewajiban melaporkan LHKPN ke KPK.
Namun, sebanyak lima dari sembilan calon hakim yang punya kewajiban itu diduga belum melaporkan LHKPN. Disebutkan, dua dari lima orang tersebut saat ini masih aktif sebagai petinggi lembaga negara.
Masih terkait rekam jejak yang bersih, Bivitri mengungkapkan bahwa seluruh calon perlu transparan terkait riwayat pekerjaan atau pengalamannya.
Dengan begitu, publik dapat menilai secara keseluruhan hakim tersebut dan pandangannya terkait isu-isu tertentu.
Selain itu, Bivitri mengatakan bahwa hakim yang terpilih perlu memahami konsep Hak Asasi Manusia (HAM).
Pengajar di Sekolah Tinggi Hukum (STH) Jentera ini menegaskan bahwa hakim terpilih perlu memahami bahwa HAM bersifat universal.
"Menurut saya, kriteria kenegarawanan itu diterjemahkan selain dalam konteks hukum, etik, dan sebagainya, juga keberpihakan dia pada isu-isu yang konstitusional. Dalam hal ini adalah HAM," terangnya.
"Buat saya penting (untuk) hakim konstitusi semuanya itu paham betul soal HAM. Jadi enggak mikirnya masih HAM itu apa, dibenturkan dengan konteks nasional Indonesia, enggak, HAM itu universal," terangnya.
https://nasional.kompas.com/read/2019/02/07/19530801/ini-terjemahan-syarat-negarawan-bagi-calon-hakim-mk-menurut-ahli-hukum