Bivitri mengatakan, DPD secara konstitusional sudah dirancang bukan untuk pengurus partai. Namun kini kader partai ikut-ikutan menggugat hal itu sampai ke polisi.
"Itu saja sudah aneh. Artinya mereka bergerak untuk kepentingan seorang ketua umumnya, bukan kepentingan partai dong namanya DPD kan. Itu saja sudah jadi indikasi bahwa ini memang langkah kriminalisasi komisioner KPU oleh pendukungnya OSO," ujar Bivitri ketika dihubungi, Senin (26/12/2018).
Bivitri pun melihat OSO begitu all out dalam melakukan upaya-upaya pencalonan DPD dalam Pemilu 2019. OSO sudah mengadu hampir ke semua lembaga.
"Ini bukan konteks sengketa pemilu tapi memang seperti teror untuk menakuti komisoner KPU karena tidak melakukan hal sesuai kehendak dia," kata Bivitri.
MA dan PTUN sebelumnya telah membuat putusan yang memerintahkan KPU mencabut Daftar Calon Tetap (DCT) anggota DPD yang tidak memuat nama OSO.
Majelis Hakim juga meminta KPU menerbitkan DCT baru dengan mencantumkan nama OSO di dalamnya.
Namun putusan MK berkata lain, OSO tidak bisa mencalonkan diri dalam pemilu DPD jika merangkap jabatan sebagai ketua umum partai. Putusan MA dan PTUN ini seolah menjadi pembenaram kubu OSO dalam memperjuangkan pemilu DPD ini.
Padahal, kata Bivitri, ada perbedaan atas putusan MA dan MK. Berdasarkan Pasal 24C Ayat (1) UUD 1945, MK memberikan tafsir konstitusional atas Undang-Undang. Sementara itu, MA dan semua pengadilan lain di bawah MA wajib mengacunya pada putusan MK yang sudah menegaskan tafsir konstitusional UU Pemilu.
Bivitri pun meminta kepolisian untuk bersikap bijak dalam hal ini. Sedianya, aparat penegak hukum tidak boleh memidana individu dari lembaga negara yang berupaya menjalankan UUD 1945 berdasarkan putusan MK.
"Pelaporan terhadap penyelenggara pemilu dapat berdampak negatif pada kualitas Pemilu 2019 dan demokrasi Indonesia," ujar Bivitri.
https://nasional.kompas.com/read/2018/12/24/07083371/pengamat-pelaporan-pidana-komisioner-kpu-bentuk-kriminalisasi