"Poin yang bisa saya sampaikan bahwa kami menemukan fakta bahwa ada gejala yang sangat kuat meningkatnya intoleransi politik ya. Meskipun kemudian pada level sosial masih toleransi," kata Amin dalam diskusi Mekanika Elektoral dalam Arus Politik Identitas di PARA Syndicate, Jakarta, Jumat (7/12/2018) sore.
Artinya, kata Amin, penerimaan kelompok masyarakat terhadap kelompok yang berbeda dalam konteks sosial masih cukup baik. Namun, penerimaan terhadap pilihan politik yang berbeda cenderung rendah.
"Contoh, misalkan 57,8 persen responden mengatakan bahwa kami hanya akan memilih pemimpin yang seagama. Ini mulai dari (pemimpin) level RT sampai Presiden. Jadi kita simulasikan apakah karena kinerja atau apa,tapi bukan, ternyata agama," kata dia.
Menurut Amin, hal itu berimplikasi terhadap potensi individu atau suatu kelompok berupaya mencegah individu atau kelompok lain untuk mengambil pilihan calon pemimpin yang berbeda.
"Jadi kami kemudian berdiskusi bahwa apa yang terjadi di Pilkada DKI Jakarta berapa orang menolak, misalkan, menyalatkan (jenazah) orang yang berbeda pilihan politik adalah dampak dari itu," kata dia.
"Jadi bukan sekadar secara pasif mereka memilih hanya seagama tapi secara aktif mereka mencegah orang lain memilih pemimpin yang berbeda. Jadi itu masalahnya," lanjut Amin.
Tiga faktor
Amin menyebutkan ada tiga faktor yang mendorong intoleransi politik menjadi tinggi saat ini. Pertama, adanya perasaan terancam dan tidak percaya terhadap pihak lain yang berbeda.
"Distrust itu tinggi sekali. Dari data kami misalkan 18,4 persen responden itu percaya bahwa agama lain itu mendominasi kehidupan publik. Kedua, tingginya fanatisme keagamaan yang berbanding terbalik dengan rendahnya sekularitas," katanya.
Faktor ketiga, papar Amin, penggunaan media sosial. Menurut dia, media sosial semakin mendorong perasaan terancam, tidak percaya serta fanatisme keyakinan. Amin mencontohkan sebagian responden yang mempercayai isu kebangkitan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang dibicarakan di media sosial.
"Dari sekian responden menyatakan 54,1 persen menyatakan pernah mendengar berita kebangkitan PKI di medsos. Dan dari sekian banyak itu 42,8 persen setuju dengan isu tersebut," kata dia.
"Jadi ada lima dari orang Indonesia itu pernah mendengar kebangkitan PKI, dan 42 persennya berarti 2 atau 3 orang percaya PKI bangkit lagi. Dan mereka mendapatkan itu semua dari media sosial," lanjutnya.
https://nasional.kompas.com/read/2018/12/07/19404801/intoleransi-politik-diperkirakan-semakin-menguat-jelang-pemilu-2019