Dalam hal ini, KPU berpedoman pada PKPU sehingga melarang mantan napi korupsi mendaftar sebagai caleg.
Sedangkan, Bawaslu berpegang pada Undang-undang nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu, yang tidak menyebutkan adanya larangan bagi mantan napi korupsi untuk nyaleg.
"Mereka (Bawaslu) tidak menjadikan PKPU sebagai pertimbangan. Itulah problematikanya, adalah cara pandang Bawaslu dan KPU terhadap PKPU itu berbeda," kata Wahyu di kantor KPU, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis (30/8/2018).
KPU berpandangan, jika sebuah aturan sudah diundangkan, maka akan mengikat semua pihak. Dalam hal PKPU, Wahyu menyebut aturan itu juga mengikat Bawaslu.
"KPU dalam posisi karena peraturan KPU masih sah dan masih berlaku, itu menjadi pedoman kerja kami," ujar Wahyu.
Ternyata Bawaslu tidak mau mengakui adanya PKPU. Sebab, dalam mengambil keputusan, Bawaslu tidak menjadikan PKPU sebagai pertimbangan.
Hal itu dibuktikan dengan diloloskannya lima mantan napi korupsi sebagai bacaleg oleh Bawaslu. Sementara sebelumnya KPU telah menyatakan kelima mantan napi korupsi itu tidak memenuhi syarat (TMS) sebagai bacaleg.
Untuk mengatasi perbedaan pandangan keduanya, Wahyu mengatakan pihaknya dan Bawaslu tengah mencari jalan tengah.
Namun demikian, Wahyu juga meminta supaya Bawaslu tidak bertindak layaknya Mahkamah Agung (MA) yang mampu membatalkan sebuah peraturan yang telah diundangkan.
"Yang berhak membatalkan PKPU kan yang berwenang, hanya MA," ujarnya.
https://nasional.kompas.com/read/2018/08/30/18160881/kpu-akui-berbeda-pandangan-dengan-bawaslu-soal-pkpu