Apalagi, sebentar lagi MK akan menghadapi berbagai sengketa yang berkaitan dengan pemilihan kepala daerah dan pemilihan presiden pada 2019.
"Semestinya, MK bisa dijadikan lembaga terakhir bagi pencari keadilan. Kalau hakim sudah kehilangan moral dan etika, bahaya, masyarakat kehilangan kepercayaan pada MK," kata Ahmad Fanani, anggota Koalisi saat ditemui di Gedung MK Jakarta, Selasa (6/2/2018).
Menurut Fanani, penyelesaian sengketa pemilu membutuhkan hakim-hakim yang memiliki integritas. Apalagi, setiap keputusan berdampak pada daerah dan masyarakat luas.
Fanani dan anggota Koalisi lainnya menilai bahwa satu pelanggaran etik saja sebenarnya sudah tidak pantas bagi seorang hakim konstitusi. Menurut mereka, seorang hakim konstitusi wajib memiliki sikap negarawan, termasuk berani mengakui kesalahan dan mundur dari jabatan.
"Jangan sampai sikap ketua MK mengkerdilkan lembaga," kata Fanani.
Saat ini, Ketua MK Arief Hidayat telah dua kali terbukti melakukan pelanggaran kode etik. Pada 2016, Arief Hidayat pernah mendapatkan sanksi etik berupa teguran lisan dari Dewan Etik MK.
Pemberian sanksi dilakukan lantaran Arief dianggap melanggar etika dengan membuat surat titipan atau katebelece kepada Jaksa Agung Muda Pengawasan Widyo Pramono untuk "membina" seorang kerabatnya.
Untuk kali kedua, Dewan Etik MK menyatakan Arief terbukti melakukan pelanggaran ringan.
Arief dilaporkan telah melakukan pelanggaran kode etik sebelum proses uji kelayakan dan kepatutan terkait pencalonannya kembali sebagai hakim konstitusi di DPR, Rabu (6/12/2017).
Atas putusan tersebut, Dewan Etik MK menjatuhkan sanksi berupa teguran lisan kepada Arief.
Dalam pemeriksaan oleh Dewan Etik, Arief terbukti melanggar kode etik karena bertemu dengan sejumlah pimpinan Komisi III DPR di Hotel Ayana Midplaza, Jakarta.
https://nasional.kompas.com/read/2018/02/06/18242241/tolak-mundur-arief-hidayat-pertaruhkan-marwah-mk