Salin Artikel

Setya Novanto, Kasus Hukum, dan Kisahnya di Panggung Politik

Dari Rumah Tahanan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Setya Novanto melayangkan surat kepada Fraksi Partai Golkar pada 8 Desember 2017.

Melalui surat itu, ia menyampaikan pengunduran dirinya dari posisi sebagai Ketua DPR. Keputusan yang diambil setelah desakan mundur datang dari segala penjuru.

Sejak ditetapkan kembali sebagai tersangka kasus dugaan korupsi proyek e-KTP oleh KPK pada 10 November 2017, Novanto bertahan tak mau mundur dari parlemen. Alasannya, ia akan melakukan upaya hukum yaitu gugatan praperadilan. Keputusan soal posisinya, baik di DPR maupun di Partai Golkar, akan diambil setelah adanya putusan praperadilan.

Baca Topik: Sepak Terjang Setya Novanto

Kali ini, “nasib baik” tak berpihak kepada Novanto. Proses praperadilan terhenti karena persidangan kasus e-KTP yang menjeratnya telah digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta.

Di sinilah awal dari kemungkinan berakhirnya kisah Novanto di panggung politik…

Setya Novanto dan kasus hukum

Kasus e-KTP bukan kali pertama yang menyeret nama Novanto di dalamnya. Nama Setya Novanto pernah disebut dalam sejumlah kasus. Beberapa kali ia pernah menjalani pemeriksaan di KPK sebagai saksi sejumlah kasus.  

1. Kasus cessie Bank Bali
Setya Novanto diduga pernah menjadi tersangka dalam skandal cessie Bank Bali senilai Rp 546 miliar. Pada 2001, Novanto disebut pertama kali oleh jaksa dalam sidang terkait kasus hak tagih piutang Bank Bali. Kasus itu menyebabkan kerugian negara nyaris Rp 1 triliun dari total tagihan sebesar Rp 3 triliun.

2. Kasus penyelundupan beras
Nama Novanto juga disebut-sebut terlibat dalam penyelundupan beras impor dari Vietnam sebanyak 60.000 ton. Novanto hanya pernah diperiksa sekali oleh Kejaksaan Agung, yakni pada 27 Juli 2006.

3. Kasus PON Riau 
Pada kasus suap PON Riau, KPK pernah mendalami keterlibatan Novanto dengan menggeledah ruang kerjanya di Lantai 12 Gedung DPR. Penggeledahan itu merupakan pengembangan kasus yang  menjerat mantan Gubernur Riau Rusli Zainal, yang juga politikus Partai Golkar. Setya Novanto membantah keterlibatannya.  

4. Kasus suap di Mahkamah Konstitusi
Pada kasus yang melibatkan Ketua Mahkamah Konstitusi, M Akil Mochtar, Novanto pernah diperiksa sebagai saksi dalam kasus dugaan suap, gratifikasi, dan pencucian uang terkait sengketa pemilihan kepala daerah yang bergulir di MK. 

Nama Novanto sempat disebut dalam rekaman pembicaraan antara Akil Mochtar dan Ketua Dewan Pimpinan Daerah Partai Golkar Jatim sekaligus Ketua Bidang Pemenangan Pemilu Jawa, Zainuddin Amali. Pesan BBM tersebut berisi permintaan uang Rp 10 miliar dari Akil kepada Zainuddin.

5. Kasus saham Freeport
Pada 2015, Kejaksaan Agung membuka penyelidikan kasus dugaan pemufakatan jahat dalam pertemuan antara Maroef Sjamsoeddin yang menjabat Presiden Direktur PT Freeport Indonesia, Setya Novanto dan pengusaha Muhammad Riza Chalid. 

Berdasarkan rekaman percakapan yang direkam Maroef, dalam pertemuan itu diduga ada permintaan saham Freeport Indonesia dengan mencatut nama Presiden Joko Widodo dan Wapres Jusuf Kalla.

Baca : Wapres: Mana Lebih Berat, Pertemuan Novanto dengan Donald Trump atau Minta Saham Freeport?

Namun, pada April 2016, Jaksa Agung Muhammad Prasetyo menyatakan bahwa kasus tersebut diendapkan karena belum ada perkembangan yang berarti. Hingga setahun berlalu, belum ada kepastian apakah penyelidikan kasus tersebut akan berlanjut atau tidak.

6. Kasus korupsi E-KTP
Setya Novanto didakwa menyalahgunakan kewenangan selaku anggota DPR dalam proyek pengadaan Kartu Tanda Penduduk berbasis elektronik (e-KTP). Perbuatan Novanto itu menyebabkan kerugian negara Rp 2,3 triliun.

Menurut jaksa, Setya Novanto secara langsung atau tidak langsung mengintervensi proses penganggaran serta pengadaan barang dan jasa dalam proyek e-KTP tahun 2011-2013.

Penyalahgunaan kewenangan itu dilakukan Novanto untuk menguntungkan diri sendiri, serta memperkaya orang lain dan korporasi. Menurut jaksa, Novanto diperkaya 7,3 juta dollar Amerika Serikat. Selain itu, ia menerima jam tangan merek Richard Mille seharga 135.000 dollar AS.

7. Pembuatan SIM dan KTP pada masa Orde Baru
Setya Novanto tercatat pernah terlibat dalam proyek pemerintah untuk pembuatan SIM dan KTP pada masa Orde Baru. Berdasarkan pemberitaan Harian Kompas pada 2 Oktober 1992 dengan judul "Biaya SIM Model Baru Rp 52.500" tertera bahwa Polri menggandeng pihak swasta dalam hal investasi peralatan komputer untuk pengadaan SIM jenis baru. 

Ada total 19 perusahaan swasta yang berinvestasi senilai Rp 90 miliar, termasuk PT Citra Permatasakti Persada (CPP) yang dipimpin Novanto. Dia ditunjuk Siti Hardijanti Rukmana atau yang dikenal sebagai Mbak Tutut untuk memimpin PT CPP sejak tahun 1991. 

Saat itu, skema kerja sama Polri dengan pihak swasta adalah dengan sewa pinjam peralatan komputerisasi selama lima tahun, di mana setelah waktu tersebut terpenuhi, semua peralatan itu menjadi milik Polri.

Untuk setiap pembuatan SIM, swasta yang menjadi mitra kerja Polri dapat Rp 48.500 dan Rp 4.000 sisanya masuk ke kas negara. Proyek pembuatan SIM model baru ini menjadi sorotan karena diduga ada tindak pidana korupsi. 

Mengutip pemberitaan Harian Kompas, 16 Maret 2005, dengan judul "Dipertanyakan, Penanganan Dugaan Korupsi Dana SIM", terungkap ada selisih jumlah produksi SIM yang dirilis Ditlantas Polri selaku pelaksana proyek dengan data PT CPP untuk periode yang sama. 
 
8. Disebut dalam kasus suap pejabat pajak
Nama Novanto muncul dalam persidangan untuk terdakwa mantan Penyidik Pegawai Negeri Sipil pada Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, Handang Soekarno. Dalam persidangan terungkap bahwa Handang ingin memperkenalkan atasannya, yakni Direktur Penegakan Hukum Ditjen Pajak, Dadang Suwarna, kepada Ketua DPR RI Setya Novanto.

Baca: Setya Novanto, Si Licin Penuh Kontroversi Pemimpin Baru Partai Golkar

Upaya perkenalan itu terkait pencalonan Dadang sebagai salah satu anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang sedang bergulir di DPR.

1. Uji materi UU ITE
Mahkamah Konstitusi (MK) menerima sebagian gugatan uji materi yang diajukan Setya Novanto, terkait penyadapan atau perekaman yang dijadikan barang bukti dalam penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan.

Hal itu diatur dalam Pasal 5 Ayat 1 dan Ayat 2 serta Pasal 44 huruf b Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang menyebutkan bahwa informasi atau dokumen elektronik merupakan salah satu bukti penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di pengadilan sah.

Menurut hakim, penyadapan terhadap satu pihak harus dilakukan oleh aparat penegak hukum dengan ketentuan sesuai UU ITE.

Uji materi ini didasari penyelidikan Kejaksaan Agung terkait kasus dugaan pemufakatan jahat dalam pertemuan antara Maroef Sjamsoeddin yang menjabat Presiden Direktur PT Freeport Indonesia, Setya Novanto dan pengusaha Muhammad Riza Chalid. 

Berdasarkan rekaman percakapan yang direkam Maroef, dalam pertemuan itu diduga ada permintaan saham Freeport Indonesia dengan mencatut nama Presiden Joko Widodo dan Wapres Jusuf Kalla.

2. Uji materi UU KPK
Setya Novanto pernah menolak menghadiri pemanggilan pemeriksaan oleh KPK. Saat itu, Novanto mengajukan uji materi terhadap Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK ke Mahkamah Konstitusi. 

Ada dua pasal dalam UU KPK yang digugatnya. Pertama, Pasal Pasal 46 Ayat 1 dan Ayat 2, yang menjadi dasar KPK untuk memanggil Novanto. Pasal ini digugat pihak Novanto lantaran dianggap mengesampingkan Undang-Undang Dasar 1945. 

Kedua, pasal yang digugat adalah Pasal 12 UU KPK. Pasal tersebut memberikan kewenangan kepada KPK meminta imigrasi untuk mencegah seseorang berpergian ke luar negeri maupun pencekalan terhadap seseorang.

3. Dua kali praperadilan
Setya Novanto dua kali mengajukan gugatan praperadilan melawan KPK di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

Pada gugatan pertama, hakim tunggal menyatakan penetapan tersangka terhadap Novanto pada 17 Juli 2017 tidak sah.

Baca: Hakim Gugurkan Gugatan Praperadilan Setya Novanto

Pada 15 November 2017, Novanto kembali mengajukan praperadilan atas penetapan tersangka yang dilakukan KPK. Kali ini, hakim tunggal menggugurkan gugatan praperadilan karena pokok perkara telah dimulai di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.

*********

Perjalanan karier Setya Novanto hingga pada posisi puncak bukan “turun dari langit”. Ia pernah mengalami masa sulit dengan menjadi tukang beras, sopir, pembantu rumah tangga, hingga model untuk mengumpulkan uang demi membiayai kuliahnya.

Novanto mulai menjadi anggota DPR pada 1999. Sejak saat itu, ia selalu terpilih menjadi anggota Dewan hingga periode sekarang,  2014-2019.

Saat Golkar dipimpin Aburizal Bakrie, Novanto menjabat sebagai Bendahara Umum Partai Golkar. Karier politiknya terus menanjak. Pada DPR 2004-2009, jabatan Ketua Fraksi Partai diembannya. Dan pada periode 2014-2019, Novanto menduduki pucuk pimpinan di parlemen sebagai Ketua DPR.

Demikian pula di partai. Setya Novanto terpilih sebagai Ketua Umum Partai Golkar pada tahun 2016 dengan mengalahkan pesaingnya, Ade Komarudin.

Penuh kontroversi

Kata "kontroversi" seolah melekat pada sosok Novanto. Di awal periode DPR 2014-2019, kericuhan terjadi di parlemen sebagai imbas pertarungan sengit Pemilihan Presiden 2014. DPR terbagi dua kubu, yakni Koalisi Indonesia Hebat (KIH) dan Koalisi Merah Putih (KMP).

KMP, yang saat itu terdiri dari Partai Gerindra, Partai Golkar, PKS, dan PAN,menyapu bersih kursi Pimpinan DPR periode 2014-2019.

Baca: Siapa Setya Novanto Ketua DPR 2014-2019?

Penetapan paket pimpinan disetujui oleh rapat paripurna karena semua partai KMP dan Partai Demokrat kompak mengajukan nama yang sama dalam satu paket. Setya Novanto menjadi Ketua DPR bersama empat wakilnya,  Fadli Zon, Fahri Hamzah, Agus Hermanto, dan Taufik Kurniawan.

Berikut sejumlah kontroversi yang mewarnai perjalanan Setya Novanto sebagai Ketua DPR:

1. Karpet merah
Baru menjabat sebagai Ketua DPR RI, Novanto sudah "menggelar" karpet merah di lobi Gedung Nusantara III Kompleks Parlemen, gedung tempatnya berkantor.

Karpet itu dipasang mulai dari lobi luar menuju lift khusus Ketua DPR dan tak bisa dilintasi oleh sembarang orang. Hanya pimpinan DPR, MPR, DPD, serta tamu yang masuk kategori VIP yang diperbolehkan menginjaknya. Kini, keberadaan karpet merah yang sempat dikritik itu, sudah tak ada.

2.  Tujuh proyek pembangunan di Kompleks Parlemen
Agustus 2015, muncul ide tujuh proyek pembangunan di lingkungan Kompleks Parlemen. Proyek tersebut menghabiskan dana sebesar Rp 1,6 triliun.  

Baca: Tujuh Proyek DPR Akan Habiskan Dana Rp 1,6 Triliun

Tujuh proyek yang rencananya akan dibangun yakni museum dan perpustakaan, alun-alun demokrasi, jalan akses bagi tamu ke Gedung DPR, visitor center, pembangunan ruang pusat kajian legislasi, pembangunan ruang anggota dan tenaga ahli, serta integrasi kawasan tempat tinggal dan tempat kerja anggota DPR.

3. Menghadiri kampanye Donald Trump
Kontroversi Novanto berlanjut. Pada Oktober 2015, Setya Novanto bersama Fadli Zon menghadiri kampanye Donald Trump yang saat itu masih menjadi calon Presiden Amerika Serikat.  

Keduanya dijatuhi sanksi kode etik ringan oleh Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD).

4. Kasus “papa minta saham”

Menjelang akhir 2015, mencuat kasus “papa minta saham”. Setya Novanto disebut telah mencatut nama Presiden dan Wakil Presiden saat meminta jatah saham PT Freeport Indonesia. 

Awalnya, kasus ini  ditangani oleh Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) berdasarkan aduan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Sudirman Said. Sebuah rekaman yang berisi percakapan Novanto bersama pengusaha minyak Riza Chalid dengan Presiden Direktur PT Freeport Indonesia Maroef Sjamsoeddin membuat Presiden Jokowi marah.

Baca: Kena Dua Sanksi, Ade Komarudin Diberhentikan sebagai Ketua DPR oleh MKD

Secara terbuka, MKD menggelar sidang yang turut  memperdengarkan rekaman tersebut.

Rekaman menunjukkan Novanto dan Riza meminta saham kepada Maroef. Keterangan dari Sudirman, Maroef, dan Novanto juga  didengarkan dalam sidang MKD. Sebanyak 17 anggota MKD menyatakan Novanto melanggar kode etik.

5. Mundur dari jabatan Ketua DPR
Novanto mengundurkan diri dari jabatan Ketua DPR menjelang sidang vonis MKD terkait kasus “papa minta saham”. Dengan pengunduran diri itu, MKD langsung menutup sidang dan menganggap kasus selesai tanpa ada putusan yang dijatuhkan.

Lepas dari jabatan Ketua DPR, Novanto maju sebagai calon Ketua Umum Partai Golkar dalam Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub) Bali. Munaslub yang berlangsung pada Mei 2016 itu diwarnai manuver-manuver politik, bahkan beredar pesan singkat soal bagi-bagi uang.

Setya Novanto terpilih sebagai Ketua Umum Partai Golkar dengan membawa beban rekonsiliasi dualisme kepengurusan di pundaknya.

6. Memohon pemulihan nama baik ke MKD

Novanto mengajukan pemulihan nama baik ke MKD karena alat bukti rekaman dalam kasus “papa minta saham” yang dijadikan bukti persidangan MKD dinyatakan tidak valid oleh Mahkamah Konstitusi (MK.)

Ade Komarudin, yang menggantikan Setya Novanto sebagai Ketua DPR, dilengserkan. Jabatan Ketua DPR kembali diduduki Novanto.

Ruang gerak Novanto menjadi terbatas sejak namanya disebut dalam dakwaan jaksa KPK terhadap dua terdakwa mantan pejabat di Direktorat Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil Kementerian Dalam Negeri, Irman dan Sugiharto.

Novanto diduga menjadi salah satu aktor utama kasus korupsi proyek pengadaan Kartu Tanda Penduduk berbasis elektronik (e-KTP).

Pada 17 Juli 2017, ia ditetapkan KPK sebagai tersangka dalam kasus ini. Penetapan ini dibatalkan setelah Novanto memenangi gugatan praperadilan yang diajukannya.

KPK kembali menetapkan Novanto sebagai tersangka pada 10 November 2017. Berulang kali dipanggil menjalani pemeriksaan, Novanto mangkir.

"Drama kejar-kejaran" sempat terjadi. KPK menyambangi kediaman Novanto di Jalan Wijaya, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, pada 15 November 2017. Ia tak berada di kediamannya. Bahkan, keluarga dan kerabat mengaku tak mengetahui keberadaannya.

Keberadaan Novanto terkuak saat mobil yang ditumpanginya dalam perjalanan ke Studio Metro TV  mengalami kecelakaan pada 16 November 2017.

Novanto sempat dirawat di RS Medika Permata Hijau sebelum akhirnya dipindahkan ke RSCM. KPK resmi menahannya pada 17 November 2017 di Rutan Negara Klas I Jakarta Timur Cabang KPK.

Kasus e-KTP pula yang menghentikan sepak terjangnya di Senayan. Pengunduran dirinya dikabulkan DPR. Fadli Zon ditunjuk sebagai Pelaksana Tugas Ketua DPR RI karena Golkar belum menunjuk pengganti Setya Novanto.

DPR terseok

Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen ( Formappi) Lucius Karus menilai, kinerja DPR di bawah kepemimpinan Setya Novanto dengan segala kontroversinya, menjadi tidak menentu. Kinerja legislasi jeblok.

"Tiga tahun terseok-seok di antara rencana (legislasi) yang terlalu ambisius dengan hasil yang merana," kata Lucius, saat dihubungi, Rabu (20/12/2017).

Selain Novanto yang bolak-balik mengisi posisi Ketua DPR, kasus-kasus korupsi lainnya juga menambah suasana hiruk pikuk di DPR.

Kinerja di bidang pengawasan juga tak kalah memprihatinkan. Fungsi pengawasan tumpul karena cengkeraman kekuatan politik yang mengharuskan keputusan selalu didahului kompromi.

"Pansus pengawasan lebih didorong untuk memperjuangkan kepentingan politik kelompok atau DPR secara umum," kata Lucius.

Pergantian Ketua DPR diharapkan menjadi momentum bagi Golkar dan DPR untuk berkomitmen menciptakan iklim demokrasi yang sehat.

Integritas menjadi kunci dalam menentukan sosok yang akan mengisi posisi Ketua DPR.

"Jika Setnov merupakan simbol kegagalan Golkar menempatkan kader terbaik di posisi strategis DPR, maka pengganti Novanto semestinya merupakan antitesa dari sosok Novanto,” kata Lucius.

Tak ada yang menyangkal kelihaian Setya Novanto di panggung politik. Politisi senior Golkar, yang menjabat Menteri Koordinator Kemaritiman, Luhut Binsar Pandjaitan, menilai Novanto sebagai sosok pemimpin yang baik.

"Harus diakui, dia bagus dalam menjalankan partainya. Bahwa ada kasus hukum itu hal lain, tapi dalam mengelola partainya dia cukup baik. Harus diakui juga," kata Luhut, Juli 2017.

Senior Golkar lainnya, Hajriyanto Thohari, menilai, Novanto merupakan sosok yang sedikit bicara dan tak pernah melontarkan kritik.

Novanto juga dinilainya royal dan banyak berkontribusi secara pribadi untuk pembiayaan partai.

"Saya dengar dari orang dalam, banyak hal terkait pembiayaan partai itu dari Pak Novanto. Banyak karena ber-bondho tadi," ujar Hajriyanto beberapa waktu lalu.

Peneliti Senior Para Syndicate, Toto Sugiarto menilai, hasil akhir persidangan Novanto akan menjadi penentu.

Berapapun vonis hakim nantinya, Novanto akan membawa catatan serius untuk tetap berkarier di politik.

"Saya kira dia sudah kehilangan nilai di mata publik. Kalau misalnya posisi politik yang dia kejar, maka akan sulit mendapat simpatik publik. Sulit kemudian publik memilih dia," ujar Toto.

"Apalagi kecenderungan ke depan masyarakat semakin cerdas dan bisa melihat. Apabila terbukti dan divonis, maka dia selesai," lanjut dia.

Wakil Ketua Dewan Kehormatan Partai Golkar, Akbar Tandjung, menilai, sanksi pemecatan sebagai kader partai bisa saja diberlakukan terhadap Novanto maupun kader Golkar lainnya yang sudah terbukti melakukan tindak pidana korupsi berdasarkan putusan berkekuatan hukum tetap.

Tindakan tegas ini bisa menjadi pembelajaran bagi kader lainnya.

"Bisa saja kalau ada usul-usul begitu supaya dijadikan bahan perhatian. Paling tidak untuk kepemimpinan DPP mendatang supaya bisa hindari hal-hal yang sama kejadian lagi pada waktu yang akan datang," ujar Akbar.

Sementara itu, Wakil Sekretaris Jenderal DPP Partai Golkar  M Sarmuji menilai, slogan "Golkar Bersih" yang disuarakan pada Munaslub Golkar 18-20 Desember 2017, membawa konsekuensi penataan internal. Salah satunya, menindak tegas kader yang tersangkut kasus hukum.

"Kalau kemarin kan masih ada yang bertahan. Bahkan bertahan sebagai pengurus. Ada lagi, yang sudah terdakwa, begitu tersangka jadi terdakwa ya kita harus berikan tindakan. Kalau kita mau betul-betul melakukan bersih-bersih di internal Partai Golkar," kata Sarmuji.

Namun, hal itu bukan berarti mencabut keanggotaan seseorang dari partai.

"Orang dipecat dari keanggotaan itu berat sekali. Dari ketua umum diberhentikan sebagai ketua umum sudah sanksi yang sangat berat. Jadi, kami tidak mau berlebihan lah," kata Sarmuji.

Lalu, bagaimana kelanjutan kisah Novanto di panggung politik? Kasus e-KTP yang akan menentukannya.

https://nasional.kompas.com/read/2017/12/24/06000031/setya-novanto-kasus-hukum-dan-kisahnya-di-panggung-politik

Terkini Lainnya

Ahmed Zaki Daftarkan Diri ke PKB untuk Pilkada DKI, Fokus Tingkatkan Popularitas

Ahmed Zaki Daftarkan Diri ke PKB untuk Pilkada DKI, Fokus Tingkatkan Popularitas

Nasional
Sengketa Pileg, Golkar Minta Pemungutan Suara Ulang di 36 TPS Sulbar

Sengketa Pileg, Golkar Minta Pemungutan Suara Ulang di 36 TPS Sulbar

Nasional
Mendagri Sebut Biaya Pilkada Capai Rp 27 Triliun untuk KPU dan Bawaslu Daerah

Mendagri Sebut Biaya Pilkada Capai Rp 27 Triliun untuk KPU dan Bawaslu Daerah

Nasional
Airin Ingin Bentuk Koalisi Besar untuk Mengusungnya di Pilkada Banten

Airin Ingin Bentuk Koalisi Besar untuk Mengusungnya di Pilkada Banten

Nasional
Sebut Warga Ingin Anies Balik ke Jakarta, Nasdem: Kinerjanya Terasa

Sebut Warga Ingin Anies Balik ke Jakarta, Nasdem: Kinerjanya Terasa

Nasional
Caleg PSI Gugat Teman Satu Partai ke MK, Saldi Isra: Berdamai Saja Lah

Caleg PSI Gugat Teman Satu Partai ke MK, Saldi Isra: Berdamai Saja Lah

Nasional
Irigasi Rentang Targetkan Peningkatan Indeks Pertanaman hingga 280 Persen

Irigasi Rentang Targetkan Peningkatan Indeks Pertanaman hingga 280 Persen

Nasional
Kuasa Hukum Caleg Jawab 'Siap' Terus, Hakim MK: Kayak Latihan Tentara, Santai Saja...

Kuasa Hukum Caleg Jawab "Siap" Terus, Hakim MK: Kayak Latihan Tentara, Santai Saja...

Nasional
Heboh Brigadir RAT Jadi Pengawal Bos Tambang, Anggota DPR: Tak Mungkin Atasan Tidak Tahu, Kecuali...

Heboh Brigadir RAT Jadi Pengawal Bos Tambang, Anggota DPR: Tak Mungkin Atasan Tidak Tahu, Kecuali...

Nasional
Geledah Setjen DPR dan Rumah Tersangka, KPK Amankan Dokumen Proyek hingga Data Transfer

Geledah Setjen DPR dan Rumah Tersangka, KPK Amankan Dokumen Proyek hingga Data Transfer

Nasional
Ditegur MK Tak Serius Ikuti Sidang, KPU Mengaku Punya Banyak Agenda

Ditegur MK Tak Serius Ikuti Sidang, KPU Mengaku Punya Banyak Agenda

Nasional
Korlantas Sebut Pelat Khusus “ZZ” Terhindar Ganjil-Genap Jika Dikawal

Korlantas Sebut Pelat Khusus “ZZ” Terhindar Ganjil-Genap Jika Dikawal

Nasional
Polri Bentuk 10 Satgas Pengamanan untuk World Water Forum Ke-10 di Bali

Polri Bentuk 10 Satgas Pengamanan untuk World Water Forum Ke-10 di Bali

Nasional
Nurul Ghufron Sengaja Absen Sidang Etik di Dewas KPK, Beralasan Sedang Gugat Aturan ke MA

Nurul Ghufron Sengaja Absen Sidang Etik di Dewas KPK, Beralasan Sedang Gugat Aturan ke MA

Nasional
Korlantas Polri Ungkap Jasa Pemalsuan Pelat Khusus “ZZ”, Tarifnya Rp 55-100 Juta

Korlantas Polri Ungkap Jasa Pemalsuan Pelat Khusus “ZZ”, Tarifnya Rp 55-100 Juta

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke