Salin Artikel

Ini Dasar Hukum KPK Cegah Setya Novanto Berpergian ke Luar Negeri

JAKARTA, KOMPAS.com - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah melakukan pencegahan berpergian ke luar negeri terhadap sembilan orang pada kasus e-KTP, termasuk untuk Ketua DPR RI Setya Novanto.

Dari sejumlah pihak itu, ada yang dicegah ke luar negeri dalam status sebagai tersangka dan sebagian besar berstatus sebagai saksi.

Juru Bicara KPK Febri Diansyah menyatakan, KPK punya dasar hukum dalam mencegah sembilan orang tersebut.

"Pencegahan seseorang ke luar negeri tersebut tentu memiliki dasar hukum yang kuat," kata Febri, lewat keterangan tertulis, saat dikonfirmasi, Kamis (9/11/2017).

(Baca: Putusan Praperadilan Tidak Batalkan Penetapan Pencegahan terhadap Setnov)

Pertama yakni Undang-undang KPK Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK.

Dalam UU tersebut, Pasal 12 ayat 1 huruf b yakni memerintahkan kepada instansi yang terkait untuk melarang seseorang bepergian ke luar negeri.

Kemudian dalam Undang-undang Imigrasi Nomor 6 Tahun 2011. Di UU ini, hal pencegahan diatur dalam BAB IX mengenai Pencegahan dan Penangkalan, mulai Pasal 91 sampai dengan Pasal 103.

Dalam Pasal 91 ayat (2) berbunyi, menteri melaksanakan pencegahan berdasarkan:

d. perintah Ketua KPK sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

Bunyi tersebut dapat juga ditemukan dalam Pasal 226 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2013.

Dasar hukum berikutnya yaitu, putusan MK bernomor PUT No. 64/PUU-IX/2011 – Perkara Pengujian UU Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian terhadap UUD Negara RI.

Dalam putusannya, MK menyatakan bahwa pencekalan hanya 6 bulan dan hanya boleh diperpanjang sekali lagi maksimal 6 bulan.

"Dengan demikian cekal hanya maksimum 12 bulan saja. Lebih dari 12 bulan dinyatakan MK bertentangan dengan UUD 45," ujar Febri.

Dasar hukum lain yakni putusan hakim praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Hakim menurut KPK, tidak mengabulkan pengajuan dari pihak Novanto dalam petitum ke-4, yang meminta untuk mencabut penetapan pencegahan terhadap Setya Novanto yang dilakukan KPK.

Ditegaskan bahwa penetapan tersebut merupakan kewenangan administrasi dari pejabat administrasi yang mengeluarkan penetapan.

"Sehingga dapat disimpulkan pelaksanaan pencegahan seseorang ke luar negeri adalah tindakan yang sah secara hukum, bukan penyalahgunaan wewenang apalagi pemalsuan surat," ujar Febri.

Febri melanjutkan, tindakan pencegahan itu penting untuk memperlancar penanganan kasus korupsi, terutama untuk memastikan saat saksi atau tersangka dipanggil maka mereka sedang tidak berada di luar negeri.

"Oleh karena itu kami ingatkan agar para saksi dan tersangka yang dipanggil mematuhi aturan hukum yang berlaku, terutama dalam pemenuhan kewajiban hukum untuk datang jika dipanggil sebagai saksi," ujar Febri.

Untuk diketahui, selain Novanto, delapan orang lainnya yang dicegah berpergian ke luar negeri dalam kasus e-KTP yakni Vidi Gunawan, Dedi Prijono, Made Oka Masagung, Irvanto Hendra Prambudi, Ester Riawaty Hari, Inayah, Raden Gede, dan Anang Sugiana Sudihardjo.

https://nasional.kompas.com/read/2017/11/09/19480471/ini-dasar-hukum-kpk-cegah-setya-novanto-berpergian-ke-luar-negeri

Terkini Lainnya

Pertamina Goes To Campus, Langkah Kolaborasi Pertamina Hadapi Trilema Energi

Pertamina Goes To Campus, Langkah Kolaborasi Pertamina Hadapi Trilema Energi

Nasional
Respons Luhut Soal Orang 'Toxic', Golkar Klaim Menterinya Punya Karya Nyata

Respons Luhut Soal Orang "Toxic", Golkar Klaim Menterinya Punya Karya Nyata

Nasional
Ditanya Soal Progres Pertemuan Prabowo-Megawati, Gerindra: Keduanya Mengerti Kapan Harus Bertemu

Ditanya Soal Progres Pertemuan Prabowo-Megawati, Gerindra: Keduanya Mengerti Kapan Harus Bertemu

Nasional
Gerindra Tangkap Sinyal PKS Ingin Bertemu Prabowo, tapi Perlu Waktu

Gerindra Tangkap Sinyal PKS Ingin Bertemu Prabowo, tapi Perlu Waktu

Nasional
Mencegah 'Presidential Club' Rasa Koalisi Pemerintah

Mencegah "Presidential Club" Rasa Koalisi Pemerintah

Nasional
Nasdem-PKB Gabung Prabowo, Zulhas Singgung Pernah Dicap Murtad dan Pengkhianat

Nasdem-PKB Gabung Prabowo, Zulhas Singgung Pernah Dicap Murtad dan Pengkhianat

Nasional
Pengamat HI Harap Menlu Kabinet Prabowo Paham Geopolitik, Bukan Cuma Ekonomi

Pengamat HI Harap Menlu Kabinet Prabowo Paham Geopolitik, Bukan Cuma Ekonomi

Nasional
PDI-P Harap MPR Tak Lantik Prabowo-Gibran, Gerindra: MK Telah Ambil Keputusan

PDI-P Harap MPR Tak Lantik Prabowo-Gibran, Gerindra: MK Telah Ambil Keputusan

Nasional
Sepakat dengan Luhut, Golkar: Orang 'Toxic' di Pemerintahan Bahaya untuk Rakyat

Sepakat dengan Luhut, Golkar: Orang "Toxic" di Pemerintahan Bahaya untuk Rakyat

Nasional
Warung Madura, Etos Kerja, dan Strategi Adaptasi

Warung Madura, Etos Kerja, dan Strategi Adaptasi

Nasional
BMKG: Suhu Panas Mendominasi Cuaca Awal Mei, Tak Terkait Fenomena 'Heatwave' Asia

BMKG: Suhu Panas Mendominasi Cuaca Awal Mei, Tak Terkait Fenomena "Heatwave" Asia

Nasional
Momen Unik di Sidang MK: Ribut Selisih Satu Suara, Sidang 'Online' dari Pinggir Jalan

Momen Unik di Sidang MK: Ribut Selisih Satu Suara, Sidang "Online" dari Pinggir Jalan

Nasional
Maksud di Balik Keinginan Prabowo Bentuk 'Presidential Club'...

Maksud di Balik Keinginan Prabowo Bentuk "Presidential Club"...

Nasional
Resistensi MPR Usai PDI-P Harap Gugatan PTUN Bikin Prabowo-Gibran Tak Dilantik

Resistensi MPR Usai PDI-P Harap Gugatan PTUN Bikin Prabowo-Gibran Tak Dilantik

Nasional
“Presidential Club” Butuh Kedewasaan Para Mantan Presiden

“Presidential Club” Butuh Kedewasaan Para Mantan Presiden

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke