Menurut dia, KPK berwenang untuk menyidik apabila ada masyarakat sipil yang diduga terlibat dalam korupsi proyek tersebut.
Hal ini disampaikan Bambang saat dihadirkan KPK sebagai saksi fakta dalam sidang praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Rabu (8/11/2017).
Praperadilan ini diajukan oleh Direktur PT Diratama Jaya Mandiri, Irfan Kurnia Saleh, yang sudah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK dalam kasus dugaan korupsi AW 101.
Namun dalam perkembangannya, Irfan yang merupakan pihak sipil juga diduga terlibat. Sementara, POM TNI tidak bisa mengusut keterlibatan pihak sipil.
"Oleh karena itu, pihak sipil dalam hal ini Irvan Kurnia Saleh dilakukan penyidikan KPK. Dia tidak tunduk pada peradilan militer. Jadi domainnya KPK," kata Bambang.
Pengacara KPK lantas bertanya apakah POM TNI sudah berkoordinasi dengan KPK terkait kasus ini. Bambang memastikan POM TNI dan penyidik KPK sudah berulangkali berkoordinasi.
"Kami menanyakan ke penyidik itu sudah dilakukan rapat koordinasi," ucap Bambang.
Pengacara KPK juga bertanya apakah pernah ada kerja sama antara POM TNI dan KPK dalam kasus lainnya.
Apabila ada, apakah kasus tersebut ada yang dibawa juga ke forum praperadilan.
Bambang menyebut bahwa sebelumnya sudah ada sejumlah kasus yang ditangani bersama-sama oleh KPK dan POM TNI.
Misalnya, terkait kasus pengadaan monitoring satelit oleh Badan Keamanan Laut dan Komisi I DPR.
"Tapi baru kali ini kami mengikuti praperadilan," ucap Bambang.
Irfan Kurnia Saleh mengajukan gugatan praperadilan atas penetapan dia sebagai tersangka oleh KPK.
Salah satu aspek yang dipersoalkan dalam gugatan praperadilan adalah mekanisme koneksitas dalam penanganan perkara yang diduga melibatkan sipil dan militer.
Dalam kasus ini, TNI menetapkan lima orang tersangka dari jajarannya. Sementara, KPK hanya menetapkan satu tersangka, yakni Irfan, sebagai pihak swasta.
Pembelian helikopter ini bermasalah karena adanya dugaan penggelembungan dana dalam pembeliannya.
Awalnya, pengadaan dikhususkan pada heli jenis VVIP untuk keperluan presiden. Anggaran untuk heli tersebut senilai Rp 738 miliar.
Meski ditolak oleh Presiden Joko Widodo, pembelian heli tetap dilakukan.
Jenis heli diubah menjadi heli untuk keperluan angkutan. Selain itu, heli yang dibeli tersebut tidak cocok dengan spesifikasi yang dibutuhkan TNI Angkatan Udara.
Misalnya, heli tidak menggunakan sistem rampdoor. Hasil perhitungan sementara ditemukan kerugian negara sekitar Rp 224 miliar dari nilai proyek Rp 738 miliar tersebut.
https://nasional.kompas.com/read/2017/11/08/11474071/pom-tni-kpk-berwenang-usut-kasus-helikopter-aw-101