Salin Artikel

Sumpah Pemuda, Menjunjung Dharma dalam Kebinekaan Indonesia

TAHUN ini, tepat 89 tahun pemuda Indonesia merayakan peristiwa bersejarah mengenai kesadaran akan pentingnya berhimpun dalam satu bangsa, satu nusa, dan satu bahasa, yang bernama Indonesia.

Inilah yang tanda sebuah perjalanan panjang dari lahirnya sebuah kesadaran kritis para pemuda untuk menjunjung kepentingan bersama sebagai sebuah bangsa yang majemuk di tengah upaya pemerintah kolonial Belanda yang melakukan politik devide et impera.

Sebuah ikrar yang menunjukkan kapasitas dan kesiapan kaum muda untuk menjunjung segala perbedaan dalam satu kesatuan dalam menghadapi penjajah di Nusantara.

Narasi besar persatuan yang dicetuskan pemuda pada tahun 1928 tersebut kemudian terus menjadi sebuah bola salju yang melahirkan bangsa Indonesia, hanya kurang dari dua puluh tahun sejak Sumpah Pemuda diikrarkan.

Kini, 72 tahun Indonesia merdeka, sebuah bangsa yang terdiri dari 1.340 suku bangsa, sekitar 300 kelompok etnis yang memiliki sedikitnya 1.211 bahasa dan tersebar di 16.056 pulau, telah menjelma menjadi sebuah negara demokrasi yang besar dengan GDP 932 miliar dollar AS dan pendapatan per kapita sebesar 3.605 dollar AS.

Sebuah negara besar yang diproyeksikan oleh berbagai lembaga riset internasional akan masuk ke dalam 7 (tujuh) besar ekonomi dunia di tahun 2030, melampaui Jerman dan Inggris.

Namun, gagasan besar yang dicetuskan dalam Sumpah Pemuda 1928 mengajarkan bahwa tanpa nilai pluralisme dan toleransi yang tinggi, maka mustahil bangunan Indonesia dapat berdiri kokoh hingga lebih dari 72 tahun.

Para Founding Fathers Indonesia sangat menyadari hal ini. Oleh karenanya, semboyan "Bhinneka Tunggal Ika" diangkat untuk merekatkan nilai-nilai kebangsaan Indonesia.

Ketika itu, para pendiri bangsa ini, yang sebagian besar beragama Islam, telah menunjukkan sikap toleransi yang tinggi untuk mengadopsi semboyan yang dituliskan oleh Mpu Tantular, seorang penganut agama Buddha.

Mpu Tantular sendiri menggoreskan kalimat "Bhinneka Tunggal Ika" dalam kitab Sutasoma bukanlah tanpa dasar yang berarti. Sebagai seorang penganut Buddha yang hidup pada abad XIV, Mpu Tantular merasakan hidup yang aman dan tentram dalam kerajaan Majapahit yang mayoritas penduduknya beragama Hindu.


Hal ini menunjukkan bahwa hidup berdampingan dalam kemajemukan dan keberagaman telah inheren mewarnai sejarah panjang bangsa Indonesia, bahkan hingga masa Kerajaan Majapahit dan banyak kerajaan lain sebelumnya.

Berbagai perbedaan yang ada telah melebur menjadi semangat persatuan dalam bingkai Indonesia. Negara ini adalah rumah bagi kemajemukan.

Namun saat ini, kita dibuat miris bila melihat kondisi bangsa yang seakan terpecah-belah ke dalam sekat-sekat agama dan etnis. Di tengah ingar-bingarnya pemilihan kepala daerah di Indonesia, tak jarang ditemui sentimen keagamaan, etnis, dan suku yang kembali bermunculan.

Jika dibiarkan, hal ini tentu berpotensi merusak sulaman nilai kebersamaan, pluralisme, dan toleransi yang telah dirajut para pendiri Indonesia.

Di sisi lain, tak jarang pula ditemui, konsep kebinekaan digunakan sebagai justifikasi terhadap sekat-sekat yang dibentuk tersebut. Seakan-akan identitas keberagaman yang ada haruslah dirayakan seluas-luasnya sehingga semakin mempertonjolkan berbagai perbedaan yang ada.

Padahal seharusnya, kebinekaan Indonesia juga haruslah berakar pada "Ika", persatuan. Inilah yang kerap hilang dari kebinekaan Indonesia.

Konsep bineka bukanlah sebatas pada hadirnya keanekaragaman suku bangsa dalam masyarakat yang majemuk, tetapi keberagaman tersebut harus mewujud dengan hadirnya pengakuan kesederajatan. Dengan demikian, kebinekaan akan meminimalisasi hadirnya berbagai bentuk anarki mayoritas di dalam kehidupan bermasyarakat.

Bhinneka Tunggal Ika perlu dipahami bukan untuk meleburkan keberagaman yang ada di Indonesia, melainkan sebagai sebuah komitmen untuk menghormati beragam perbedaan yang ada untuk bersatu padu memajukan bangsa Indonesia.

Bhinneka Tunggal Ika bukanlah suatu bentuk penyeragaman semua etnis dan suku menjadi satu Indonesia, melainkan bahwa seluruh etnis di Indonesia tetap diangkat sebagai identitas masyarakatnya, dengan tetap berwadah kepada Indonesia. Setiap orang Indonesia harus merasa bangga terhadap keindonesiaan mereka, meskipun ada identitas Jawa, Sunda, Batak, dan lainnya.

Dalam konteks inilah, meminjam istilah Azyumardi Azra, "Rejuvenasi" Pancasila harus dilakukan untuk memperbaiki kesalahan pemaknaan tunggal atas Pancasila yang dilakukan Orde Baru.

Tahap awalnya bisa menjadikan Pancasila sebagai public discourse untuk dapat dimaknai terus-menerus sehingga tetap relevan dalam kehidupan bangsa dan negara Indonesia.


Indonesia dengan masyarakatnya yang majemuk dan multikultural harus dapat memaknai identitas nasional secara tepat agar tidak terjerumus ke dalam semangat partikularisme yang menjebak masyarakat dalam identitas-identitas yang sangat emosional dan mendalam, yakni identitas seperti agama dan etnis.

Reinventing Indonesia harus dilakukan dalam mencari identitas yang benar-benar melekat pada sosok masyarakat bangsa dan negara.

Memaknai semboyan "Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrwa"

Aku mau;
kamu mau;
dia mau;
Tapi ternyata, yang menjadi kenyataan,
Adalah sesuatu yang tak diinginkan oleh satu pun di antara kita

Dalam upaya melakukan perenungan atas makna kebinekaan Indonesia, patut dipahami bahwa semboyan "Bhinneka Tunggal Ika" yang dituliskan Mpu Tantular mempunyai sebuah kalimat lanjutan, yakni: "Tan Hana Dharma Mangrwa", yang berarti "tiada kebenaran yang mendua".

Bhinneka Tunggal Ika akan mendapatkan maknanya yang utuh apabila dilihat dalam konteks kalimat yang lengkap ini. Bahwa tujuan utama dari bersatunya rakyat Indonesia dalam kemajemukan adalah untuk menjunjung dharma. Bahwa persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia tidak akan termanifestasi tanpa adanya kesamaan tujuan, yakni untuk mewujudkan masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera.

Hal ini tentunya tidak akan dapat tercapai dengan mengedepankan perasaan nasionalisme atau bahkan chauvinisme yang sempit.

Ramai bangsa kita seolah memperdebatkan kebinekaan tidak dalam konteks untuk mewujudkan dharma-nya. Gaduh membahas pertentangan makna pribumi dan giat melaporkan ke ranah hukum, tapi seakan bungkam melihat minimnya perkembangan kasus korupsi e-KTP yang disinyalir banyak melibatkan pejabat negara. Asyik mengangkat kebanggaan sebagai seorang Pancasila yang hidup dalam keberagaman, tapi abai ketika lahir UU Ormas yang dapat menihilkan hak berserikat karena semata dinilai tidak sesuai dengan "ideologi Pancasila".

Di sinilah kemudian kita perlu merenungkan kembali makna dari "Tan Hana Dharma Mangrwa". Betul bahwa dengan segudang potensi yang dimilikinya, Indonesia diproyeksikan akan tumbuh menjadi kekuatan ekonomi baru di dunia internasional. Tetapi jika kita melihat posisi Indonesia dalam ranking global saat ini, masih banyak yang perlu dibenahi.


Human Development Ranking (2016) Indonesia masih menempati peringkat 113, jauh dibanding Jepang yang berada di peringkat 17 dan negara tetangga, Malaysia yang berada di peringkat 59.

Dalam Global Competitiveness Ranking (2016), Indonesia menempati peringkat 41, turun dari tahun sebelumnya di peringkat 37 dan kalah jauh dibanding Singapura dan Jepang yang masing-masing berada di peringkat 2 dan 8 serta Malaysia di peringkat 25.

Angka persepsi korupsi (2016) Indonesia juga sangat rendah (peringkat 90), tertinggal dari negara yang sempat mengalami perang saudara, Rwanda (peringkat 50), negara tetangga Malaysia (peringkat 55) dan bahkan juga tertinggal dari Brazil (peringkat 79) yang seringkali diidentikan dengan perilaku koruptif pejabat negaranya pasca-penyelenggaraan Piala Dunia 2014.

Untuk itulah, dalam momen Sumpah Pemuda ini, generasi muda harus tampil untuk menyemai kembali "Bhinneka Tunggal Ika Tan, Hana Dharma Mangrwa".

Sejarah terus mencatat bahwa pemuda adalah motor gerakan yang mendorong kemajuan bangsa. Dan, proyeksi besar Indonesia di tahun 2030 pun didasari oleh hadirnya potensi bonus demografi yang akan dinikmati Indonesia.

Data yang dikeluarkan BPS (2016) menyebutkan bahwa penduduk Indonesia akan bertumbuh sebesar 305 juta jiwa, di mana 68 persennya berada pada usia angkatan kerja. Hal ini tentunya akan mendorong produktivitas pertumbuhan ekonomi dan dapat menjadi batu loncatan Indonesia untuk mencapai visi Indonesia Emas di tahun 2045.

Namun demikian, agar Indonesia dapat benar-benar memanfaatkan potensi dari bonus demografi tersebut, tentu saja kita sebagai pemuda juga perlu berbenah dan mempersiapkan diri.

Momen Sumpah Pemuda ini harus dimanfaatkan untuk merefleksikan di manakah peran kita dalam 10 atau 20 tahun ke depan. Khusus bagi para pelajar Indonesia di luar negeri, sebagai seorang yang kini tengah menjadi perantau ilmu, jangan sampai kita semakin jauh dari realitas masyarakat dan asik terkungkung dalam menara gadingnya hanya mengejar cita-cita individual semata.

Selayaknya Soegondo Jojopoespito, Muhammad Yamin, WR Soepratman, Sie Kong Liong dan para tokoh Sumpah Pemuda lainnya, kita sebagai pemuda masa kini perlu untuk terus menghadirkan narasi-narasi kebinekaan, keikaan yang bermuara pada dharma, di antaranya terciptanya good governance, tegaknya supremasi hukum, serta penguatan akar rumput melalui pendidikan yang merata dan berkualitas.

Gagasan, ide dan aksi dari para pemuda yang menjunjung dharma sangat diperlukan untuk menjadi oase di tengah berbagai hal yang mengancam rajutan kebangsaan. Mari!

Pandu Utama Manggala
Mahasiswa doktoral di National Graduate Institute for Policy Studies (GRIPS), Tokyo. Saat ini tengah mengemban amanah sebagai Koordinator PPI Dunia 2017/2018.

https://nasional.kompas.com/read/2017/10/28/08430181/sumpah-pemuda-menjunjung-dharma-dalam-kebinekaan-indonesia

Terkini Lainnya

PDI-P “Move On” Pilpres, Fokus Menangkan Pilkada 2024

PDI-P “Move On” Pilpres, Fokus Menangkan Pilkada 2024

Nasional
Sandiaga Usul PPP Gabung Koalisi Prabowo-Gibran, Mardiono: Keputusan Strategis Lewat Mukernas

Sandiaga Usul PPP Gabung Koalisi Prabowo-Gibran, Mardiono: Keputusan Strategis Lewat Mukernas

Nasional
Rakernas PDI-P Akan Rumuskan Sikap Politik Usai Pilpres, Koalisi atau Oposisi di Tangan Megawati

Rakernas PDI-P Akan Rumuskan Sikap Politik Usai Pilpres, Koalisi atau Oposisi di Tangan Megawati

Nasional
Bareskrim Periksa Eks Gubernur Bangka Belitung Erzaldi Rosman Terkait Kasus Dokumen RUPSLB BSB

Bareskrim Periksa Eks Gubernur Bangka Belitung Erzaldi Rosman Terkait Kasus Dokumen RUPSLB BSB

Nasional
Lempar Sinyal Siap Gabung Koalisi Prabowo, PKS: Kita Ingin Berbuat Lebih untuk Bangsa

Lempar Sinyal Siap Gabung Koalisi Prabowo, PKS: Kita Ingin Berbuat Lebih untuk Bangsa

Nasional
Anies: Yang Lain Sudah Tahu Belok ke Mana, Kita Tunggu PKS

Anies: Yang Lain Sudah Tahu Belok ke Mana, Kita Tunggu PKS

Nasional
Nasdem: Anies 'Top Priority' Jadi Cagub DKI

Nasdem: Anies "Top Priority" Jadi Cagub DKI

Nasional
Sekjen PDI-P: Banyak Pengurus Ranting Minta Pertemuan Megawati-Jokowi Tak Terjadi

Sekjen PDI-P: Banyak Pengurus Ranting Minta Pertemuan Megawati-Jokowi Tak Terjadi

Nasional
Bisa Tingkatkan Kualitas dan Kuantitas Hakim Perempuan, Ketua MA Apresiasi Penyelenggaraan Seminar Internasional oleh BPHPI

Bisa Tingkatkan Kualitas dan Kuantitas Hakim Perempuan, Ketua MA Apresiasi Penyelenggaraan Seminar Internasional oleh BPHPI

Nasional
Jelang Pemberangkatan Haji, Fahira Idris: Kebijakan Haji Ramah Lansia Harap Diimplementasikan secara Optimal

Jelang Pemberangkatan Haji, Fahira Idris: Kebijakan Haji Ramah Lansia Harap Diimplementasikan secara Optimal

Nasional
Anies Tak Mau Berandai-andai Ditawari Kursi Menteri oleh Prabowo-Gibran

Anies Tak Mau Berandai-andai Ditawari Kursi Menteri oleh Prabowo-Gibran

Nasional
PKS Siapkan 3 Kadernya Maju Pilkada DKI, Bagaimana dengan Anies?

PKS Siapkan 3 Kadernya Maju Pilkada DKI, Bagaimana dengan Anies?

Nasional
Anies Mengaku Ingin Rehat Setelah Rangkaian Pilpres Selesai

Anies Mengaku Ingin Rehat Setelah Rangkaian Pilpres Selesai

Nasional
Koalisi Gemuk Prabowo-Gibran ibarat Pisau Bermata Dua

Koalisi Gemuk Prabowo-Gibran ibarat Pisau Bermata Dua

Nasional
Tawaran Posisi Penting untuk Jokowi Setelah Tak Lagi Dianggap Kader oleh PDI-P

Tawaran Posisi Penting untuk Jokowi Setelah Tak Lagi Dianggap Kader oleh PDI-P

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke