Hal inilah yang menjadikan penyediaan fasilitas tertentu selalu menjadi komoditas subur bagi petugas Lapas yang koruptif. Narapidana yang tergolong memiliki kemampuan finansial lebih kuat akan menyuap petugas untuk mendapat fasilitas yang lebih memadai bahkan cenderung mewah.
Keempat, masalah yang sering luput adalah persoalan besarnya biaya yang harus dikeluarkan oleh negara untuk membiayai penghuni rutan dan lapas.
Perlu diketahui bahwa penghununi rutan dan lapas adalah tanggung jawab dari negara, sehingga segala jenis pembiayaan dari mulai pangan sampai dengan obat-obatan haruslah ditanggung oleh negara. Semakin besar angka penghuni maka beban yang ditanggung negara semakin besar pula.
Terakhir, kelebihan penghuni mengakibatkan banyaknya narapidana maupun tahanan yang harus dimutasi. Hal ini mengakibatkan keluarga maupun kerabat dari narapidana maupun tahanan yang ingin berkunjung harus mengeluarkan biaya yang lebih besar.
Praktik ini kemudian menjadikan keluarga dari penghuni sebagai obyek lain yang mendapatkan penghukuman dari akibat besarnya jumlah penghuni lapas dan rutan.
Penyebab overcrowding
Persoalan kelebihan penghuni rutan dan lapas sesungguhnya tidak bisa dilepaskan dari pendekatan kebijakan pemidanaan penjara yang selalu digunakan pemerintah.
Tingginya angka pemidanaan penjara menjadi alasan penting. Sistem peradilan pidana Indonesia cenderung sangat kaku, sehingga kasus sekecil apa pun biasanya akan dilanjutkan prosesnya sampai dengan ditahan bahkan dipenjara. Belum lagi minimnya alternatif penahanan dan alternatif pemenjaraan yang tidak tersedia dengan baik.
Bahkan kebijakan penggunaan pidana penjara sebagai tujuan utama pemidanaan juga tergambar dari produk hukum yang dirancang maupun dikeluarkan pemerintah yang selalu bernuansa pemenjaraan.
Dapat diambil beberapa contoh, UU ITE yang banyak dikritik karena memuat pidana tinggi, ternyata hanya menurunkan ancaman pidana dari 6 tahun ke 4 tahun untuk kejahatan penghinaan dan pencemaran nama baik yang mestinya dapat menggunakan jenis pidana lain.