Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Bersama dalam Kemajemukan

Kompas.com - 22/05/2017, 15:37 WIB


Oleh: Julian Aldrin Pasha

Pesan Presiden Jokowi bahwa ”kalau PKI nongol, gebuk saja” (Kompas, 18 Mei 2017) mendapat perhatian serius.Terminologi gebuk mengingatkan saya pada istilah Presiden Soeharto tahun 1989 dan 1997 dalam konteks menanggapi manuver yang dilakukan para anasir politik di Tanah Air.

(Baca: Jokowi: Kalau PKI Nongol, Gebuk Saja)

Secara linguistik, gebuk berarti hantaman berupa pukulan yang kuat. Dalam politik, interpretasinya luas, dipicu rasa marah untuk menghentikan satu aksi dengan cara memberangus, menumpas, bahkan menghabisi.

Mengapa Presiden mengeluarkan statement tersebut? Dalam konteks apa dan dari mana sumber informasinya? Tentu Presiden memiliki pertimbangan. Instrumen negara menyajikan informasi lebih dari cukup terkait segala hal yang sampai di tingkat Presiden.Namun, di luar domain itu, ada ranah yang seolah milik semua orang, yakni informasi di ruang publik secara daring (online) melalui internet.

Informasi ”overload”

Di era internet yang instant-on, berbagai informasi tersaji mulai dari blog pribadi, kumpulan komunitas, sampai media arus utama (mainstream). Dalam kenyataannya, informasi hadir tidak semata berupa informasi per se.Sangat beragam, bahkan menjadi informasi plus yang sarat kepentingan karena disertai bumbu ”kecap” dan komentar serba-serbi yang justru membuat bias.

Di satu sisi, ini menarik dan mencerminkan dinamika dalam penyajian informasi. Namun, hal ini menyulitkan orang seperti saya saat mencoba mencari informasi yang benar karena telah bercampur bumbu tadi.Informasi via internet menyajikan dua hal; kebenaran (truth)dan/ataukebenaran-plus baca: kebenaran palsu (post-truth).Dua kategori ini mengisi ruang publik melalui media daring.

Futurolog Alfin Toffler dalam buku Future Shock (1970) telah meramalkan bahwa ”the dizzying disorientation brought on by the premature arrival of the future. It may well be the most important disease of tomorrow”.Intinya, akan muncul disorientasi akibat datangnya masa depan yang prematur sebagai jenis penyakit baru.

Dan, Toffler benar, itu terjadi sekarang. Kemajuan sarana informasi yang luar biasa tidak diimbangi dengan pranata sosial dan politik, mengakibatkan ketidakseimbangan baru yang tidak lagi bisa sepenuhnya dikendalikan.Singkatnya, mesin telah menang.

Mencari kebenaran perlu kesabaran.Dan, kebenaran sering kali hadir belakangan.Sejarah membuktikan, astronom Nicolaus Koppernik (1473-1543), penemu teori heliocentric dalam bukunya, De Revolutionibus Orbium Coelestium (Revolusi Pusaran Benda Langit) menyebut Matahari sebagai center dan planet lain mengitari Matahari. Temuan itu tidak serta-merta diterima karena sebelumnya telah terbentuk keyakinan, persepsi, dan opini bahwa Matahari dan bintang mengitari Bumi.

Koppernik justru dituduh melanggar norma dan kepatutan, merusak tatanan bahkan kepercayaan yang ada saat itu bahwa Bumi adalah pusat dan Matahari mengitarinya.Berbagai asumsi sampai postulat dibangun sebagai justifikasi pandangan keliru itu dan dipercaya oleh masyarakat selama belasan abad sampai pada titik ketika ilmu pengetahuan modern muncul sebagai panglima, membuktikan yang sebenarnya.

Pelajaran dari itu, kita tidak bisa menerima sesuatu dianggap benar tanpa verifikasi. Kita berharap ilmu pengetahuan akan hadir menjembatani kesenjangan (gap) antara truth dan post-truth.

Peran negara

Disparitas suku, ras, golongan, dan agama menjadi bagian dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Amerika Serikat, di awal kemerdekaan, juga dilanda konflik horizontal berupa perang saudara antara Utara dan Selatan sebelum menjadi demokratis seperti sekarang. Namun, tantangan terhadap demokrasi terus ada.

Demokrasi tidak taken for granted.Presiden pertama kita, Bung Karno, punya pandangan jauh ke depan dengan pemikiran yang sangat demokratis untuk ukuran masyarakat saat itu dengan menetapkan Pancasila sebagai dasar negara di tengah diskursus beberapa pilihan sebagai dasar negara.

Di masa pemerintahan Presiden Soeharto, Orde Baru menjamin kemajemukan dengan Pancasila ditetapkan sebagai dasar negara.Pemerintahan setelahnya, Presiden BJ Habibie, Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Megawati Soekarnoputri, dan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) berpandangan sama, menetapkan standing negara dengan mengambil sikap tegas untuk tidak membiarkan kelompok masyarakat tertentu berupaya mengganti dasar negara dan ideologi Pancasila.

Kita pastinya tidak ingin terjadi kemunduran (set back) ketika Indonesia menjadi demokratis melalui proses reformasi. Di beberapa negara muncul gelombang ketiga (third wave) dari otoriter menjadi demokrasi dan set back, sebagaimana studi Robert R Kaufman dalam Dictators and Democrats: Masses, Elites, and Regime Change (2016).Studi ini menyimpulkan bahwa perubahan model rezim bisa diakibatkan oleh distabilitas politik atau faktor ekonomi.

Peran negara diharapkan dalam menertibkan informasi yang tersaji secara liar (hoax) di internet, khususnya isu yang terkontaminasi akibat sarat kepentingan.Menjadi serius saat isu tertentu bersinggungan dengan dasar negara dan kebinekaan karena dapat membuat luka persaudaraan.

Apabila salah kelola, hampir pasti akan sangat mahal biaya (cost)-nya.Sejarah mencatat, tantangan berupa penolakan terhadap kemajemukan, kebersamaan, dan separatisme terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) telah ada sejak kita merdeka. Indonesia—a posteriori, telah teruji karena memiliki sikap toleran yang terpatri dalam pola pikir (mindset) individu sebagai kearifan lokal (local wisdom), bukan akibat indoktrinasi dari rezim tertentu.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Istana Disebut Belum Terima Draf Revisi UU Kementerian Negara

Istana Disebut Belum Terima Draf Revisi UU Kementerian Negara

Nasional
Grace dan Juri Jadi Stafsus, Ngabalin Sebut Murni karena Kebutuhan Jokowi

Grace dan Juri Jadi Stafsus, Ngabalin Sebut Murni karena Kebutuhan Jokowi

Nasional
Revisi UU Kementerian Disetujui, RUU Perampasan Aset Hilang

Revisi UU Kementerian Disetujui, RUU Perampasan Aset Hilang

Nasional
[POPULER NASIONAL] Babak Baru Kasus Vina Cirebon | 'Crazy Rich' di Antara 21 Tersangka Korupsi Timah

[POPULER NASIONAL] Babak Baru Kasus Vina Cirebon | "Crazy Rich" di Antara 21 Tersangka Korupsi Timah

Nasional
Tanggal 21 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 21 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Kemendikbud Sebut Kuliah Bersifat Tersier, Pimpinan Komisi X: Tidak Semestinya Disampaikan

Kemendikbud Sebut Kuliah Bersifat Tersier, Pimpinan Komisi X: Tidak Semestinya Disampaikan

Nasional
Wapres Minta Alumni Tebuireng Bangun Konsep Besar Pembangunan Umat

Wapres Minta Alumni Tebuireng Bangun Konsep Besar Pembangunan Umat

Nasional
Khofifah-Emil Dardak Mohon Doa Menang Pilkada Jatim 2024 Usai Didukung Demokrat-Golkar

Khofifah-Emil Dardak Mohon Doa Menang Pilkada Jatim 2024 Usai Didukung Demokrat-Golkar

Nasional
Pertamina Raih Penghargaan di InaBuyer 2024, Kado untuk Kebangkitan UMKM

Pertamina Raih Penghargaan di InaBuyer 2024, Kado untuk Kebangkitan UMKM

Nasional
Soal Isu Raffi Ahmad Maju Pilkada 2024, Airlangga: Bisa OTW ke Jateng dan Jakarta, Kan Dia MC

Soal Isu Raffi Ahmad Maju Pilkada 2024, Airlangga: Bisa OTW ke Jateng dan Jakarta, Kan Dia MC

Nasional
Cegah MERS-CoV Masuk Indonesia, Kemenkes Akan Pantau Kepulangan Jemaah Haji

Cegah MERS-CoV Masuk Indonesia, Kemenkes Akan Pantau Kepulangan Jemaah Haji

Nasional
Dari 372 Badan Publik, KIP Sebut Hanya 122 yang Informatif

Dari 372 Badan Publik, KIP Sebut Hanya 122 yang Informatif

Nasional
Jemaah Haji Indonesia Kembali Wafat di Madinah, Jumlah Meninggal Dunia Menjadi 4 Orang

Jemaah Haji Indonesia Kembali Wafat di Madinah, Jumlah Meninggal Dunia Menjadi 4 Orang

Nasional
Hari Keenam Penerbangan, 34.181 Jemaah Haji tiba di Madinah

Hari Keenam Penerbangan, 34.181 Jemaah Haji tiba di Madinah

Nasional
Jokowi Bahas Masalah Kenaikan UKT Bersama Menteri Pekan Depan

Jokowi Bahas Masalah Kenaikan UKT Bersama Menteri Pekan Depan

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com