JAKARTA, KOMPAS.com - Koordinator Divisi Korupsi Politik Indonesian Corruption Watch (ICW) Donal Fariz mengatakan, jabatan pimpinan Dewan Pimpinan Daerah (DPD) sangat terbatas dan tidak seluas DPR RI.
Misalnya, terkait kebijakan. DPD hanya bisa mengajukan rancangan dan memberikan pertimbangan untuk suatu undang-undang yang akan diberlakukan. Berbeda dengan DPR yang akan menentukan diberlakukan atau tidaknya suatu undang-undang.
Meskipun demikian, kursi pimpinan Dewan Pimpinan Daerah (DPD) menjadi perebutan anggota-anggota di dalamnya.
Baca: Bahas Pemilihan Pimpinan Baru, DPD Rapat Panmus Minggu Siang
Koordinator Divisi Korupsi Politik Indonesian Corruption Watch (ICW) Donal Fariz menilai, salah satu alasan perebutan jabatan tersebut karena terkait akses. Misalnya, akses kepada Presiden. Sebab, pimpinan DPR setara dengan pimpinan lembaga negara lainnya.
"Dia (pimpinan DPD) punya posisi yang dianggap mengkilap bagi sebagian orang, karena dia menghubungkan dengan sumber langsung kekuasaan. Pimpinan DPD, dia bisa akan sebaris dengan ketua MA, ketua MK, ketua DPR RI," kata Donal.
Saat ini polemik pergantian pimpinan DPD masih bergulir. Rencananya, rapat pergantian pimpinan DPD tetap digelar pada Senin (3/4/2017), besok meskipun Mahkamah Agung (MA) telah membatalkan Tata Tertib Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Nomor 1 Tahun 2016 dan 2017.
Tata Tertib DPD Nomor 1 Tahun 2016 dan 2017 itu mengatur bahwa masa jabatan pimpinan DPD hanya 2,5 tahun. Sehingga masa jabatan pimpinan DPD dikembalikan pada aturan sebelumnya, yakni selama lima tahun.
Baca: Pemilihan Pimpinan DPD Harus Dibatalkan Demi Hukum
Menurut Donal, karena ada faktor mendapatkan akses itulah sejumlah anggota tetap beralasan pergantian pimpinan tetap dilakukan.
"Akses itu yang akan dipakai, karena jabatan dia adalah pimpinan sebuah lembaga negara maka dia memilki peluang untuk mengakses kekuasan-kekuasaa yang lain. Kekuasaan peradilan, kekuasan eksekutif. Kalau anggota mana bisa. Itu logika sederhananya," kata Donal.