JAKARTA KOMPAS.com - Komisioner Pengawas Industri Keuangan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Dumoly Freddy Pardede mengapresiasi upaya pemerintah membentuk Badan Siber Nasional (Basinas) yang salah satu tujuannya melindungi sektor perbankan.
Menurut Dumoly, kegiatan ilegal terhadap teknologi finansial saat ini berpotensi menimbulkan distabilitas dunia perbankan.
"Ada benarnya (pembentukan Basinas), kami dukung karena kalau mereka melakukan ilegal viral terhadap teknologi finansial kan repot juga. Bisa menyebabkan distabilitas. Dampak yang lebih buruk bisa terjadi. Seperti sudah terjadi di sistem keuangan Amerika. Maka Basinas jadi bagian dari sistem pertahanan nasional," ujar Dumoly saat dihubungi, Selasa (10/1/2017).
Dumoly mengakui sistem teknologi perbankan dan pasar modal saat ini sering mengalami serangan siber (cyber attack). Namun, dia memastikan sistem teknologi digital memiliki pertahanan yang cukup kuat.
(Baca: Soal Pembentukan Badan Siber Nasional, Kabinet Jokowi Masih "Terbelah")
Secara periodik, sistem tersebut selalu diperbarui dan diperkuat mengikuti perkembangan dunia teknologi digital. Meski demikian, Dumoly berharap pembentukan Basinas akan memperkuat sistem yang sudah ada.
Menurut dia, kecepatan perkembangan teknologi saat ini mengharuskan pemerintah membuat langkah antisipasi yang lebih cepat.
"Memang ada banyak orang melakukan cyber attack terhadap sistem teknologi. Sejauh ini kita simtek (sistem teknologi) di perbankan ada digital sistemnya. Memang lumayan kuat dan kokoh digital sistem di sektor perbankan dan pasar modal," kata Dumoly.
Hal senada juga diungkapkan oleh Pengamat siber dan ahli digital forensik, Ruby Alamsyah. Dia berharap Badan Siber Nasional mampu meningkatkan keamanan seiring meningkatnya serangan siber di dunia perbankan.
(Baca: Wiranto: Badan Siber Nasional Akan Lindungi Sektor Perbankan)
"Sangat urgen Indonesia mempunyai badan cyber security terutama yang bergerak di bidang perbankan. Sangat besar kerugian terkait cyber crime oleh pelaku lokal atau negara asing," ujar Ruby saat dihubungi Kompas.com, Senin (9/1/2017).
Ruby menjelaskan, sejak beberapa tahun belakangan, pemerintah sudah melihat adanya peningkatan serangan yang menggerus transaksi perbankan. Serangan tersebut menargetkan perusahaan-perusahaan besar, baik swasta maupun milik pemerintah.
Dia menyebut ada pihak-pihak tertentu yang berupaya membobol rekening perusahaan yang tercatat di bank-bank tertentu. Dia mencontohkan kasus yang cukup banyak terjadi yakni ATM (Anjungan Tunai Mandiri) Scamming.
Pelaku masuk ke dalam sistem perbankan dan memindahkan sejumlah uang ke satu rekening tanpa bisa dideteksi oleh pihak bank. Umumnya pelaku ATM scamming berasal dari dalam dan luar negeri.
(Baca: Urgensi Badan Siber Nasional untuk Tangkal Serangan ke Dunia Perbankan)
Selain itu, ada juga kasus "Nigerian Scamming". Pelaku yang berasal dari Nigeria, meretas sebuah email pribadi kemudian mengirimkan surat elektronik atas nama pemilik email tersebut.
Mereka berpura-pura sebagai rekan bisnis dan meminta sejumlah uang atau mengirimkan invoice (surat tagihan) palsu kepada sebuah perusahaan.
Menurut praktisi digital forensik yang tergabung dalam Tim Desk Ketahanan dan Keamanan Informasi Cyber Nasional Kemenko Polhukam itu, kerugian yang timbul mencapai Rp 500 miliar per tahun dari serangan tersebut.
"Kami sudah pernah bicara dengan BI (Bank Indonesia) dan OJK (Otoritas Jasa Keuangan), ada pihak asing yang menggunakan dan menggerus transaksi perbankan. Satu rekening bisa dibobol hingga milyaran rupiah. Kami sudah mengendusnya 1 atau 2 tahun belakangan," ungkap dia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.