Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Perludem Curiga Ada Kepentingan di Uji Materi Masa Jabatan Hakim MK

Kompas.com - 28/11/2016, 23:29 WIB
Fachri Fachrudin

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Fadli Ramadhanil sanksi terhadap uji materi terkait perpanjangan masa jabatan hakim Mahkamah Konstitusi (MK).

"Menurut kami, ini aneh. Enggak tahu, tiba-tiba muncul gugatan ini dan ini sudah kesekian kalinya," ujar Fadli di MK, Jakarta, Senin (28/11/2016).

"Kami menduga ada kepentingan. Enggak tahu, apa mungkin saja MK punya kepentingan ini, kami menduga itu (ada kepentingan)," kata dia.

Menurut Fadli, proses persidangan dalam uji materi ini terbilang cepat jika dibandingkan permohonan uji materi yang lain. Saat ini proses uji materi sudah ditahap akhir, yakni Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH).

"Ini cepat. Nah itu menimbulkan kecurigaan juga. Permohonannya CSS UI itu baru diregistrasi 1 September 2016. Kemudian di awal Oktober itu sudah persidangan ketiga. Nah di pertengahan November itu sudah selesai, enggak sampai tiga bulan sidangnya," ujar dia.

Menurut Fadli, meskipun tidak ada aturan yang mengharuskan MK menyelesaikan sidang sesuai urutan masuknya pengajuan uji materi, namun sedianya MK bisa memilih gugatan-gugatan yang sifatnya lebih substansial.

Fadli membadingkan cepatnya proses uji materi masa jabatan hakim MK dengan gugatan uji materi mengenai keterbukaan informasi terkait mekanisme pemilihan Komisioner Informasi (KI) di daerah dan pusat yang diajukan oleh tiga lembaga sosial masyarakat (LSM) sekitar awal Oktober 2016.

Tiga LSM tersebut yakni Yayasan Penguatan Partisipasi Inisiatif dan Kemitraan Masyarakat Indonesia (Yappika), Pusat Telaah dan Informasi Regional (Pattiro), dan Perludem.

"Sudah dua bulan lebih, enggak ada lagi kabar persidangannya setelah sidang kedua. Padahal itu penting, 33 provinsi akan melalukan rekrutmen pada komisioner KI. Nah ini (uji materi masa jabatan hakim MK) apa kepentingan cepatnya, kenapa diputus cepat?," Kata Fadli.

Ia menambahkan, permohonan itu menimbulkan keresahan di internal hakim MK itu sendiri.

Sebab, ada asas umum di dunia hukum yang menyebutkan bahwa seorang hakim tidak boleh mengadili persoalan atas dirinya sendiri. Dalam bahasa latin disebut "nemo judex in causa sua".

"Kondisi sekrang itu kan terjadi di mana MK memutus perkara dengan kepentingan. Bahkan bukan kepentingan institusi, tapi kepentingan personal hakim yang  sedang menjabat,” kata dia.

(Baca: Uji Materi Masa Jabatan Hakim MK Dinilai Penuh Konflik Kepentingan)

Uji materi terkait perpanjangan masa jabatan hakim MK diajukan oleh dua pihak.

Pertama, Hakim Binsar Gultom dan Lilik Mulyadi dengan nomor perkara 53/PUU-XIV/2016. Kemudian, uji materi nomor perkara 73/PUU-XIV/2016 yang diajukan oleh Centre of Strategic Studies University of Indonesia (CSS UI).

Dalam permohonannya, Binsar dan Lilik meminta MK agar masa jabatan hakim MK disamakan dengan hakim MA, yakni hingga berusia 70 tahun.

Sedangkan CSS UI meminta jabatan hakim MK tidak dibatasi dengan periodesasi, yang dapat ditafsirkan bahwa jabatan hakim MK adalah seumur hidup.

Kompas TV Indonesia Tuan Rumah Pertemuan MK se-Asia
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

Kejagung: Kadis ESDM Babel Terbitkan RKAB yang Legalkan Penambangan Timah Ilegal

Kejagung: Kadis ESDM Babel Terbitkan RKAB yang Legalkan Penambangan Timah Ilegal

Nasional
Kejagung Tetapkan Kadis ESDM Babel dan 4 Orang Lainnya Tersangka Korupsi Timah

Kejagung Tetapkan Kadis ESDM Babel dan 4 Orang Lainnya Tersangka Korupsi Timah

Nasional
Masuk Bursa Gubernur DKI, Risma Mengaku Takut dan Tak Punya Uang

Masuk Bursa Gubernur DKI, Risma Mengaku Takut dan Tak Punya Uang

Nasional
Sambut PKB dalam Barisan Pendukung Prabowo-Gibran, PAN: Itu CLBK

Sambut PKB dalam Barisan Pendukung Prabowo-Gibran, PAN: Itu CLBK

Nasional
Dewas KPK Minta Keterangan SYL dalam Dugaan Pelanggaran Etik Nurul Ghufron

Dewas KPK Minta Keterangan SYL dalam Dugaan Pelanggaran Etik Nurul Ghufron

Nasional
Soal Jatah Menteri PSI, Sekjen: Kami Tahu Ukuran Baju, Tahu Kapasitas

Soal Jatah Menteri PSI, Sekjen: Kami Tahu Ukuran Baju, Tahu Kapasitas

Nasional
Cinta Bumi, PIS Sukses Tekan Emisi 25.445 Ton Setara CO2

Cinta Bumi, PIS Sukses Tekan Emisi 25.445 Ton Setara CO2

Nasional
Menpan-RB Anas Bertemu Wapres Ma’ruf Amin Bahas Penguatan Kelembagaan KNEKS

Menpan-RB Anas Bertemu Wapres Ma’ruf Amin Bahas Penguatan Kelembagaan KNEKS

Nasional
Banyak Caleg Muda Terpilih di DPR Terindikasi Dinasti Politik, Pengamat: Kaderisasi Partai Cuma Kamuflase

Banyak Caleg Muda Terpilih di DPR Terindikasi Dinasti Politik, Pengamat: Kaderisasi Partai Cuma Kamuflase

Nasional
PKB Sebut Pertemuan Cak Imin dan Prabowo Tak Bahas Bagi-bagi Kursi Menteri

PKB Sebut Pertemuan Cak Imin dan Prabowo Tak Bahas Bagi-bagi Kursi Menteri

Nasional
Fokus Pilkada, PKB Belum Pikirkan 'Nasib' Cak Imin ke Depan

Fokus Pilkada, PKB Belum Pikirkan "Nasib" Cak Imin ke Depan

Nasional
Kritik Dukungan Nasdem ke Prabowo, Pengamat: Kalau Setia pada Jargon “Perubahan” Harusnya Oposisi

Kritik Dukungan Nasdem ke Prabowo, Pengamat: Kalau Setia pada Jargon “Perubahan” Harusnya Oposisi

Nasional
Megawati Tekankan Syarat Kader PDI-P Maju Pilkada, Harus Disiplin, Jujur, dan Turun ke Rakyat

Megawati Tekankan Syarat Kader PDI-P Maju Pilkada, Harus Disiplin, Jujur, dan Turun ke Rakyat

Nasional
Langkah PDI-P Tak Lakukan Pertemuan Politik Usai Pemilu Dinilai Tepat

Langkah PDI-P Tak Lakukan Pertemuan Politik Usai Pemilu Dinilai Tepat

Nasional
PSI Buka Pendaftaran Bakal Calon Kepala Daerah Pilkada 2024

PSI Buka Pendaftaran Bakal Calon Kepala Daerah Pilkada 2024

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com