JAKARTA, KOMPAS.com - Komisi Pemilihan Umum bakal mendistribusikan anggaran kampaye untuk masing-masing pasangan calon gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta.
Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat Masykurudin Hafitd merespons positif kebijakan itu.
Menurut Masykurudin, anggaran yang disediakan KPU bisa menyetarakan cara pasangan calon berkampanye.
Tapi, kebijakan tersebut juga bisa berefek negatif. Salah satu dampak adalah maraknya praktik politik uang.
"Setelah ada dana yang disediakan oleh KPU, berarti dana yang sebelumnya mereka sediakan tidak terpakai. Akhirnya untuk apa?" ujar Masykurudin dalam sebuah diskusi di Menteng, Sabtu (24/9/2016).
Berdasarkan pantauan pada Pilkada serentak 2015, banyak pasangan calon yang mengalihkan dana kampanye mereka untuk menggelar pertemuan dengan warga.
Dalam pertemuan itu, pasangan calon kepala daerah membagikan uang transportasi maupun hadiah-hadiah untuk warga.
"Akhirnya dana mereka bergeser yang selama ini untuk beriklan di media misalnya, malah menjadi pemberian transaksional," ujar Masykurudin.
(Baca: Bawaslu: Politik Uang Masih Jadi Ancaman pada Pilkada 2017)
Namun, kata Masykurudin, di Jakarta, politik uang tak lagi berdampak signifikan bagi pasangan calon untuk meraup suara.
Masykurudin memprediksi hanya 20 persen pemilih Jakarta yang bisa terpengaruh politik uang.
Sisanya atau suara 80 persen pemilih tak bisa dibeli.
Masykurudin mengatakan warga belum tentu memilih pasangan calon yang sudah memberi uang.
Namun, jika politik uang itu dicampur dengan isu SARA dan juga intimidasi, maka bisa saja semakin banyak warga yang terpengaruh.
"Contoh intimidasi misalnya kepala keluarga yang memaksa untuk memilih pasangan tertentu," ujar dia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.