JAKARTA, KOMPAS.com — Masih lekat di ingatan Sumini bagaimana dirinya ditahan selama hampir 6,5 tahun hanya karena pernah menjadi Ketua Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) ranting Pati, Jawa Tengah.
Siksaan demi siksaan, stigma, bahkan cemoohan harus dia terima selama mendekam di penjara.
Kini, pada usia yang sudah menginjak 70 tahun pun ia masih tidak memahami apa yang menjadi dosa besar dirinya ketika memutuskan untuk bergabung dengan Gerwani.
"Kami dibilang bejat moralnya. Itu setiap hari yang masih saya dengar. Belum lagi digebuki setiap pemeriksaan," kata Sumini saat ditemui di sela acara "Simposium Membedah Tragedi 1965" di Hotel Aryaduta, Jakarta, Senin (18/4/2016).
Sumini menceritakan, ketertarikannya terhadap Gerwani muncul karena melihat program-programnya yang sangat berpihak pada perempuan.
Dulu di Pati, adalah sebuah kewajaran ketika seorang anak perempuan yang masih duduk di kelas II sekolah rakyat dipaksa untuk menikah.
Saat itu, kata Sumini, Gerwani mengeluarkan larangan terhadap praktik perkawinan terhadap anak perempuan yang masih di bawah umur.
Selain itu, Gerwani juga menjadi organisasi perempuan pertama yang merespons ketika pemerintah mencanangkan pemberantasan buta huruf. Sepulang kerja, Sumini selalu mengajar membaca dan menulis anak-anak di desanya.
Bahkan ketika pada saat itu belum ada taman kanak-kanak, dia bersama teman-temannya di Gerwani berinisiatif untuk membangan TK Melati pertama di Pati.
"Kalau pagi saya kerja. Malam ngajar buta huruf. Lalu saya berhenti kerja, mengajar di TK Melati. Waktu itu belum ada TK, tapi Gerwani sudah membuat TK Melati. Saya ikut karena program-programnya menyentuh hati saya," ungkapnya.
Selanjutnya: Ditangkap tanpa diadili